Advertise Box

ZIARAH - Kreasi N°17 Karya Asahan-Sobron-DN Aidit - Gema Terbitan Oleh A.Kohar Ibrahim

 
Gema Terbitan Orang Orang Pinggiran :
Z I A R A H
Kumpulan Sajak Cerpen
Asahan –Sobron--DN Aidit
Majalah Sastra & Seni
KREASI n° 17 Th 1994
Editor:
D. Tanaera alias A.Kohar Ibrahim
*
ISI:
Dari Penyaji: Ziarah – oleh D.Tanaera alias A.Kohar Ibrahim
Belasungkawa untuk Aidit – sajak Mao Zedong
Sajak Sajak DN Aidit:
Lumpur dan kidung, Kini ia sudah dewasa, Tembok granit,
 Yang mati hidup abadi, Raja naik mahkota kecil,
Kidung dobrak salahurus, Hati dibakar cinta.
Cerpen Cerpen Sobron Aidit:
Bang Amat, Cabin Boy, Razzia Agustus, Ziarah.
Sajak Sajak Asahan Aidit: Ziarah I – IX.
*
Dari Penyaji:
Z I A R A H
Oleh Editor D.Tanaera Alias A.Kohar Ibrahim
 
Asal mula?
DALAM waktu hampir bersamaan sampai dua naskah masing-masing dari Perancis dan Belanda – yang satu berupa sajak, sedang yang lainnya cerpen dengan judul serupa: Ziarah. Kesamaan lainnya, kedua penulis itu menyandang nama keluarga yang tak mungkin sirna dalam sejarah bangsa Indonesia – sekalipun ada usaha untuk itu – yakni  A I d I t .
Saya lantas teringat kepada Aidit lainnya, yang telah meninggal dunia itu, yang selain sebagai penulis esei sospolekbud juga menulis sejumlah sajak. Maka begitulah lahirnya rencana penerbitan kumpulan bersama dari tiga bersaudara itu.
Maksud tujuan?
SEBAGAI kelanjutan untuk memberi sumbangan sajian kreasi  seni  dan opini, memperkaya kepustakaan dan dijadikan bahan pertimbangan bagi tersusunnya sejarah budaya dalam arti yang luas. Sejarah yang utuh dan yang benar, bukannya yang dipenggal-penggal dan yang dipalsukan sebagai mana yang terjadi di bawah rezim Orde Baru.  "Sejarawan Indonesia telah membunuh tokokh-tokoh sejarah", kata Dr Abdurrachman Surjomihardjo. Dalam pada itu, kiranya patut direnungkan ucapan sejarawan lainnya, yakni Dr Taufik Abdullah:
"Hendaknya kita sadar benar, bahwa munculnya pemerintah yang disebut Orde Baru ini, adalah di atas puing-puing tragedi nasional yang luar biasa." (DeTIK 15 Februari 1994).
Pernyataan kedua sejarawan tersebut sungguh berkenaan dengan tema penerbitan "Ziarah". Ziarah bukan saja terhadap Aidit, tetapi juga sejuta manusia yang melayang jiwanya dalam tragedi nasional itu.
Bagaimana hal itu bisa terjadi?
TIDAK lain kecuali akibat peristiwa yang merupakan puncak pertikaian politik di kalangan kaum militer pada 30-September-1-Oktober-65. Akibat keunggulan komplotan kekuatan militer kanan dengan kekuatan nekolim atas kekuatan kiri untuk mendominasi kekuasaan sejak berdirinya Republik Indonesia. Dalam peristiwa itu 6 jenderal dan 1 perwira terbunuh – dibunuh oleh kaum militer. Jelasnya oleh pasukan-pasukan "Gerakan 30 September" yang dikepalai oleh Letkol Untung.
Setelah gerakan Letkol Untung dalam waktu beberapa jam saja diungguli gerakan militer lainnya yang dikepalai Letjen Suharto, maka situasi itu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh kekuatan anti-komunis dalam dan luar negeri. Terutama sekali seperti yang diungkap mantan agen CIA Ralph Mac Gehee (15 tahun kemudian ! ) mengenai peranan Amerika dalam pembantaian missal 1965-1966.
"Semula, tentara Indonesia tidak menyangkutkan PKI, karena partai itu tidak terlibat dalam percobaan kudeta itu," kata Mac Gehee yang dikutip majalah Afrique-Asie 1981, "namun CIA memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menghancurkan PKI".  Bagaimana caranya? Salah satu contoh, menurut Mac Gehee, cara yang mengerikan yang dipersiapkan CIA adalah: "Foto-foto mayat para jendral yang terbunuh itu – yang telah dalam keadaan membusuk – disiarkan lewat suratkabar  dan televisi. Komentar yang menyertai foto-foto itu memberi kesan seolah-olah para jendral tersebut telah dicincang dan dicungkil matanya oleh wanita-wanita komunis. Propaganda yang dibuat-buat secara sinis itu dimaksudkan untuk mengobarkan kemarahan umum terhadap kaum komunis dan agar bertindak untuk melakukan pembantaian missal."
Maka terjadilah, seperti antaralain diuraikan Ruslan Widjajasastra selaku saksimata sekalian korban rezim Orde Baru:
"… Di dalam rapat-rapat umum secara terang-terangan massa didorong untuk menjalankan tindakan-tindakan terror. Misalnya dalam rapat-rapat umum pembicara berteriak-teriak "untuk setiap jendral diganti dengan 100.000 komunis". Sebagai akibat dari kampanye jahat yang tidak bertanggungjawab itu telah timbul tindakan-tindakan biadab terhadap anggota-anggota PKI dan khususnya anggota-anggota Gerwani telah mengalami perlakuan-perlakuan yang sadis."
"Apa akibatnya mudah diduga," lanjut Ruslan Widjajasastra. "Di bawah perlindungan alat-alat Negara, yang tanpa persetujuan dari  atasannya yang anti-komunis tidak mungkin mereka berani bertindak, maka kelompok pendukung jendral-jendral kanan AD mulai mengganas di mana-mana. Ratusan ribu komunis dan non-komunis, laki-laki, wanita, pemuda, ya – bahkan anak-anak telah menjadi mangsa kebiadaban luarbiasa. Perlakuan-perlakuan sadis, siksaan-siksaan takterperikan di luar batas perikemanusiaan menyertai pembunuhan-pembunuhan massal.  Satu keluarga dibunuh habis (ayah dan anak-anaknya); seorang ibu baru melahirkan – dibunuh; seorang wanita dengan menggendong anaknya dibunuh di pinggir kali dan banyak korban lainnya telah dihabisi nyawanya di situ juga, maksud para algojonya supaya tidak perlu menggali lubang kubur. Di Jatim orang digantung di pepohonan, kepala orang dipamerkan di pasar-pasar atau disandarkan di pohon di pinggir jalan, ada yang dibunuh secara pelan-pelan dengan memotongi anggota-anggota badannya satu demi satu; orang tua dipaksa melihat anaknya dibunuh sebelum dirinya sendiri dihabisi nyawanya. Di Jogya korban-korban diharuskan terjun kedalam satu parit yang terkenal dengan nama luweng di pantai selatan Jogya. Di satu penjara pasukan-pasukan pemerintah yang luarbiasa anti-komunisnya memerintahkan tahanan-tahanan terjun dari suatu platform dengan kepala di bawah.  Dan bahwa masih ada korban-korban itu yang tetap  hidup adalah suatu keajaiban belaka. Kemaluan laki-laki dipotong sebagai bukti untuk menentukan jumlah uang yang harus dibayar kepada algojo. Bahwa pembantaian terhadap kaum komunis dan non-komunis bukannya suatu ekses biasa, tetapi suatu perbuatan yang sedar dan berencana dapat dilihat dari bahwa di mana-mana diseluruh tanahair yang menjadi sasaran pembunuhan adalah, disamping massa biasa adalah pemimpin-pemimpin PKI setempat sampai ke desa-desa, pimpinan organisasi-organisasi revolusioner dan juga anggota lembaga-lembaga pemerintah daerah (DPRD-BPH), juga bisa dilihat dari sistim bon-bonan terhaap orang yang sudah ditahan yang biasanya dianggap anggota PKI yang penting dan tak jarang bon-bonan ini melalui tawar-menawar tentang jumlah uang yang harus dibayar untuk membeli jiwa orang yang hendak dijadikan korban yang dilakukan antara penguasa militer setempat dengan pihak reaksi. Masih banyak lagi bentuk-bentuk pembunuhan yang sadis. Di banyak tempat korban-korban dimasukkan sungai atau laut dengan diberi batu (bandul pemberat) sehingga dapat tenggelam sampai ke dasar. Tetapi banyak juga yang sesudah dibunuh dilemparkan begitu saja di sungai-sungai seperti Bengawan Solo, kali Berantas, Musi dll; dilemparkan ke jurang-jurang. Bahwa ada kesengajaan untuk membunuh bisa juga dilihat dari mereka yang tanpa proses pengadilan telah ditembak oleh penguasa militer setempat; bisa dilihat dari nasib tahanan-tahanan yang sudah ada dalam tahanan pemerintah waktu itu. Para tahanan dengan sengaja hampir tidak diberi makan, sehingga akibatnya sesudah sekian hari atau minggu para tahanan mati kelaparan. Di Sumatera Selatan misalnya tahanan hanya diberi 40 butir jagung untuk selama 24 jam dan akibatnya 90% tahanan mati. Dengan jalan beginilah banyak tahanan lainnya di Jawa dll kepulauan menjadi mati kelaparan. (Penjara Kalisosok Surabaya, Salemba Jakarta, Tanggerang dll). Di Salemba sampai tahun 1969 masih terdapat korban mati kelaparan. Bahwa pembunuhan-pembunuhan berselubung ini sampai sekarang masih berlangsung bisa dibuktikan dari perlakuan yang dijalankan terhadap tahanan-tahanan dimana misalnya diberbagai kamp tahanan masih terdapat tahanan-tahanan yang hanya diberi makan 10 sampai 25 sendok makan sehari; bergroting untuk tahanan hanya Rp 25,- seorang termasuk biaya pengobatan. Sebagai akibat dari keganasan terror itu, yang dilakukan atau dibawah lindungan atau langsung juga oleh pasukan-pasukan tertentu dari pemerintah, diberbagai tempat telah terjadi bahwa seluruh kader setempat mati terbunuh, ada yang separo terbunuh. Kita mencatat pembunuhan yang paling besar misalnya di Jatim, Jateng dan Bali." (Pembelaan Ruslan Widjajasastra 22 Juni 1974 hlm 25-26).
Sehubungan  dengan tragedi 1965-1966 itu, seorang demokrat berjiwa besar, pemimpin NU Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa, "Dikala itu sebanyak setengah juta sampai dua juta orang telah dibunuh, hampir semuanya tidak bersalah. Peristiwa tragis itu tidak bisa dibela. Ia harus mencekam kesadaran nasional kita, seperti halnya dengan pembantaian yang dialami orang-orang Yahudi … Anggota-anggota Ansor bertanggungjawab terhadap pembunuhan-pembunuhan itu. Saya menyayangkan bahwa masih banyak orang NU yang membanggakannya. Pembantaian sejuta orang tidak bisa dikatakan heroik. Karena itu kita harus memiliki demokrasi untuk dapat menyelidikinya." (Vrij Nederland, 6.6.1992).
Sampai detik ini para algojo atau pemimpinnya bukan saja tidak menyesali perbuatan keji mereka malah membanggakannya, sekalipun dimulut komatkamit Pancasila dan Hak-hak Asasi Manusia. Prof.Dr. W.F. Wertheim pernah mengkonstatasi: "Di dalam otobiografinya, Suharto samasekali tidak menunjukkan tanda, bahwa ia menyesali terhadap jatuhnya korban rakyat sebanyak setengah atau sejuta. Justru sebaliknyalah, terhadap prajurit-prajurit pembunuh pun ia tidak mencela perbuatan mereka. Misalnya dalam hal kolonel  Jasir Hadibroto, dalam Kompas Minggu 5 Oktober 1980 ia menceritakan pengakuannya kepada Suharto, yaitu bahwa dia telah membunuh ketua PKI DN Aidit tanpa keputusan pengadilan. Dengan jalan demikian Aidit tidak bisa membela diri di depan sidang pengadilan, dan karenanya pula penguasa dengan leluasa dapat menyiarkan 'pengakuan' Aidit yang palsu. Kolonel ini justru dihadiahi Suharto dengan kedudukan sebagai gubernur Lampung. Dalam hal ini tentu saja Suharto sendirilah yang bertanggung jawab. Karena pembunuhan itu hanya terjadi sesudah Jasir Hadibroto menerima perintah dari Suharo yang, menurut Jasir, mengatakan: 'Bereskan itu semua!' " (Sejarah Tahun 65 Yang Terselubung – ceramah Prof.Dr. W.F.Wertheim 23 September 1990 di Amsterdam hlm 10).
John Gitting dalam laporannya yang dimuat The Guardian Minggu 8-9 September 1990, a.l. menjelaskan kekejaman algojo di Bali yang bahkan sampai meminum darah para korbannya.
"Pembantaian yang diperingati secara resmi," tulis John Gotting menandaskan, "adalah yang terjadi pada 30 September 1965 malam atas diri 6 jendral dan seorang perwira yang ditangkap dalam kup dan tubuhnya dimasukkan ke dalam sumur di dekat lapangan terbang Halim di pinggir kota Jakarta. Di Lobang Buaya itu kini terdapat suatu monument di lapangan terbuka yang sesuai dengan versi resmi membenarkan tindakan tentara dalam melancarkan pembasmian komunis, dan melapangkan jalan bagi berkuasanya Jendral Suharto… Monumen bagi ketujuh korban itu meliputi beberapa hektar padang rumput. Sebaliknya ratusan dari ribuan korban yang mati di Bali … dan seluruh korban di Jawa tidak ada makamnya sama sekali."
Salah seorang korban yang tak bermakam itu adalah Dipa Nusantara Aidit – Ketua CC PKI. Namun, bermakam ataupun tidak, hal itu tidak akan membataslkan hasrat anggota keluarga atau  siapa saja untuk  b e r z i a r a h . Terhadapnya dan juga terhadap segenap korban kezaliman.
 
Secara umum demikianlah maksud kita.
AKAN halnya isi penerbitan ini, kami sajikan sajak Mao Zedong sebagai "pendahuluan". Sedangkan ketiga penulis masing-masing membuktikan kesamaan sekaligus keberbedaannya. Kesamaan keberbedaan keluarga, usia, aktivitas dan kreativitas mereka.
Kepada segenap pembaca, kami serahkan penilaian terakhir.
S e l a m a t !
Erobar, Mei  1994.
D.Tanaera
*
Catatan:
(1)."Ziarah" – kumpulan sajak dan cerpen Asahan-Sobron-DN Aidit, edisi spesial Majalah sastra & Seni Kreasi n° 17 1994, ISSN -0923-4934, Penerbit Stichting Budaya, Amsterdam. Editor: D.Tanaera alias A.Kohar Ibrahim.  D.Tanaera -  salah sebuah pen-name A.Kohar Ibrahim yang bisa dibaca: Dipa Tanahair Rakyat.
(2).Tulisan ini saya siarkan, selain sebagain penegasan sikap-pendirian mendasar  untuk membela kebenaran dan keadilan, sekalian juga sebagai bahan pelengkap info atau pertimbangan bagi pembaca umumnya, khususnya generasi muda Indonesia.
(3).Disiar selain via sarana Facebook, juga blog situs internet lainnya, seperti  ABE-Kreasi Multiply Site dsb. Facebook: 21 Mai 2011.
***
__._,_.___

+ Add Your Comment

Sponsored by