Advertise Box

[ac-i] Suatu Ketika Di Pantai Utara - Cerpen A.Kohar Ibrahim

 

 

Suatu Ketika Di Pantai Utara

 

  

Cerpen :

 

A.Kohar Ibrahim

 

*

 

Secuplik Buku : Debur Ombak Pantai Utara

Terbitan Berdikari « Cengkareng » 1970

Majalah Sastra & Seni Kreasi

Terbitan Stichting Budaya

Amsterdam

 

*

 

 

 

 

 

SEKALI suara letupan peluru menggema, santer. Lalu sekali lagi. Dan yang ketiga kalinya diiringi suara mengaduh. Seekor elanglaut yang semula terbang rendah tiba-tiba melambung tinggi lantaran terkejut. Begitu juga burung-burung bangau beterbangan dari segerombol pepohonan sambil menguak-nguak putus asa. Tapi seperti pendendam yang tak terpadamkan elanglaut membungkam, terus terbang dengan gagah. Berputar-putar. Menukik atau diam sekejap sambil mengepakkan sayap perlahan-lahan. Dengan sinar mata yang tajam ditatapnya laut hijau kebiru-biruan menggelombang gulung-gemulung dan berdebur memecah pantai. Lantas ia bergerak lagi dan berputar-putar lagi. Agaknya tak rela pergi menjauh. Dari gerak-geriknya nampak  ada sesuatu yang sedang diincarnya. Sesuatu yang amat menarik perhatiannya.

 

Kalaulah elanglaut bisa mengutarakan apa yang disaksikannya dari angkasa itu, tentu pertama-tama mengenai pemandangan di seleret pantai utara daerah itu. Dimana terkandung riwayat sukaduka dan cinta-benci antara alam dengan manusia maupun antara manusia itu sendiri.

 

Pantai itu merupakan pantai landai dan di pertengahannya terletak sebuah pangkalan dekat muara kali. Dinamakan orang pangkalan nelayan Muria. Satu-satunya pangkalan yang termasuk lingkungn daerah itu. Sedangkan pangkalan-pangkalan lainnya terletak jauh di Tanjungkulon dan Tanjungwetan. Dibanding dengan kedua pangkalan yang disebutkan belakangan itu, pangkalan Muria jika dalam musim teduh lebih ramai. Meskipun leretan pantai berpasirnya itu terselangselingi oleh gerombolan pepohonan kayu api-api dan nipah. Selain  perkampungan-perkampungan penduduknya yang terpencar-pencar antara rawa-rawa. Namun justeru kerna letaknya antara dua tanjung, maka ikan banyak berkumpul di situ. Maka tidak heranlah kalau di sepanjang tepi pantai itu banyak orang memasang sero. Sedangkan agak ke tengah laut nampak pancang-pancang jermal mendongak-dongak ke langit.

 

Sekonyong-konyong elanglaut itu menukik dan sekali dengan kecepatan luarbiasa mencekau seekor ikan yang dibawanya terbang melayah ke tengah. Melewati sebuah pulau kecil. Pulau Ubi. Kirakira jaraknya dua kilometer dari pangkalan.  Sebelah timurlaut. Lalu burung itu melewati sebuah perahu mayang yang sedang bergerak menuju pangkalan. Di atas perahu itu seorang lelaki kira-kira berumur tigapuluhan tahun yang berdiri tegak di dekat tiang topang tersenyum bangga menampak elanglaut itu terbang dengan gagahnya. « Kalau saja aku elang », pikirnya, « aku akan terbang ke segenap pelosok mencari sesuatu yang telah lama kurindukan. Yang telah lama kutunggu-tunggu. Mencari, bukan hanya menanti dengan perasaan tersiksa… ! »

 

Akan tetapi elanglaut tak tahu bahwa ia dikagumi. Juga tak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh lelaki berperawakan tegap itu. Maka terus juga ia terbang ke arah laut lepas. Terus, hingga tak kuasa lagi mata mengikutinya.

 

*

 

SESUNGGUHNYALAH , jangankan elanglaut, awak perahu mayang itu pun tidak mengetahui apa yang dipikirkan lelaki yang berdiri dekat tiang topang itu. Warso namanya. Jurumudi Tiban tidak tahu. Dadang, jurubatu tidak tahu. Nanta, Sudji, Suta dan bidak-bidak lainnya juga tidak tahu. Mungkinkah dalam dia menatap langit putih dijaluri awan hitam kelabu berarak-arak itu pikirannya melayang ke pelelangan ikan dan di dalam hatinya bertanya-tanya : Berapa banyak bagian bakal diterima nanti ? Kemudian, kalau sudah diterimanya akan cukupkah untuk membayar hutang ? Adakah sisanya buat dibawa pulang ? Jika bukan itu yang merisaukan hatinya, apakah dia terkenang pada akangnya ? Atau terkenang pada kawan-kawan yang kini sudah tiada lagi di mukabumi ini ? Akh, semua itu mungkin saja menyebabkan pikirannya kusut ! pikir Nanta yang sejak beberapa saat memperhatikan Warso. Dan yang dipetrhatikan saat itu nampak menghela nafas panjang ?

 

Perahu mayang itu terus melaju. Kian lama kian dekat ke pangkalan. Ketika melempar pandang ke tepi, seketika itu Warso mengerutkan kening. Matanya terbuka lebar, melohok. Apa gerangan yang telah terjadi maka di sana banyak orang berkerumun selain yang bergegas kian-kemari ? Di antara orang-orang itu ada yang berseragam hijau serta menyandang bedil. Ikan raksasa kena jaring ? pikir Warso. Atau buaya yang suka muncul di pertemuan antara air-tawar dan air-asin dekat muara ditangkap orang ? Kemudian selintas diperhatikannya ada kira-kira sepuluh perahu mayang berlabuh dan belasan sampan melajur-lajur di atas pasir. Agaknya saat itu sudah banyak juga orang yang pulang mesaya.

 

Beberapa orang yang berkerumun dan mondar-mandir di pantai itu sejenak memperhatikan perhau yang ditumpangi Warso itu menepi. Akan tetapi setelah mengetahui bahwa perahgu yang baru datang itu tak ada yang patut diherankan, maka orang-orang itu pun tak memperdulikannya lagi.

 

Segera setelah menurunkan ikan berkeranjang-keranjang dari atas perahu itu, dan Warso tidak kebagian memikul ke tempat pelelangan, dia berkata pada Tiban sambil menuding ke kerumunan orang :

« Saya mau ngeliat sana sebentar ».

« Buat apa ? Urusan kita belon beres, » ujar Tiban mendengus - alamat tak menaruh perhatian pada suasana sekitar pangkalan itu. Perhatiannya hanya terpancang pada ikan yang akan segera dilelangkan. Sejurus kemudian : « Tapi sukamulah, asal buru-buru nyusul ke pelelangan ».

 

Lantas Tiban dan Dadang mengiringi para bidak memikul ikan penghasilan mereka ke tempat pelelangan. Sedang Warso bergegas mengayunkan langkah ke kerumunan orang di sana.

« Hampir mati ! » kata seorang setelah keluar dari lingkaran kerumunan itu. « Aih aih…korban lagi. Aih-aih… »

« Untung cuman kaki dan bahunya yang kena, kalau ,kepala ? Uluhati ? Hhh, kontan modar ! » kata yang lainnya sembari menggelengkan kepala.

Warso semakin dirangsang oleh ujarkata kedua orang itu. Ingin segera tahu apa yang telah terjadi. Cepat melangkah. Pandangnya menyapu pasir yang putih keabu-abuan bercapkan tapak-tapak kaki telanjang, lalubetis-betis yang memagar. « Ada kejadian apa ? » teriak hatinya.

 

Ternyata bukanlah suatu kejadian kecil yang boleh diremehkan begitu saja. Ketika dia nyelisip di antara kerumunan orang itu, segera nampak seorang lelaki berlumuran darah menjerembab di atas pasir. Seorang wanita muda nerempuyuk disampingnya, menangis tersedu-sedan. Di sampingnya lagi seorang nenek. Sedang dua orang lelaki - dikenalinya : Tukul dan Sobiran - sibuk membalut lelaki yang menjerembab itu pada luka-lukanya yang terus-menerus mengalirkan darah. Tanpa bersuara Warso segera menerobos lingkaran kerumunan orang itu dan mendekati. Tercengang. « Amir ? Kenapa sampai begini, pak ? » tanyanya keherenan. Dan yang ditanya, Sobiran, cepat  menjawab dengan suara setengah berbisik :

« Ssst, waspada. Jangan gelisah. Nanti kujelaskan semuanya ».

 

Warso mengigit bibir bawahnya menahan jeritan jiwanya. Sekuat bisa ditenangkan perasaannya. Segera sebuah tandatanya membesar mengamuk di dalam benaknya. Pikirannya jadi kacau-balau. Lebih-lebih ketika telinganya menangkap suara gumam yang tak menentu dari kerumunan orang di sekeliling.

 

Setelah melirik kiri-kanan, sekali lagi Sobiran berbisik : « Sebaiknya kamu menyingkir saja. Biar aku bersama Tukul mengurusinya. Kau liat setan-setan pantai pada gentayangan ? Waspadalah… ! »

 

Warso mereguk airliur rasanya seperti mereguk empedu. Lantas perlahan dia beranjak dan melangkah. Tapi tidak meninggalkan tempat itu, melainkan berdiri di antara kerumunan orang. Memperhatikan keadan sekeliling dengan hati gundah. Mengapa Sobiran berkata begitu ? Mengapa pula para nelayan yang berkerumun itu cuma jadi penonton ? Jelas dalam tangkapan matanya raut muka mereka membayangkan berbagai macam perasaan yang berkecamuk di dalam diri masing-masing. Membayangkan perasaan kesal, cemas dan takut. Ada juga di antaranya yang melontarkan pandang yang menghinakan ke alamat Amir. Tetapi jika diperhatikan benar-benar, mereka hanya segelintir saja. Terutama mereka yang menyandang bedil. Untuk menghilangkan tanda-tanya dalam benaknya dengan segera, ingin dia bicara dengan orang-orang yang berdiri didekatnya. Tetapi segera pula teringat akan pesan Sobiran, maka keinginannya itu dibatalkan.

 

Akh, kalaulah elanglaut yang tadi dilihatnya terbang  mengarah utara kembali lagi melayang-layang di atas pangkalan itu dan bisa bicara, tentulah akan mengatakan seterang-terangnya apa yang telah terjadi. Akan menyatakan kesaksiannya betapa Amir menjerembab tak sadarkan diri di atas pantai berpasir itu : Diiringi suara letupan santer sebutir peluru meluncur dari laras bedil komandan hansip Naim. Lalu sebutir lagi. Dan yang terakhir…membikin nelayan muda itu tersungkur menggelepar-gelepar. Darah mengalir deras memerahi pakaian dan menyerap dalam pasir. Naim merasa puas. Orang-orang di belakangnya juga merasa puas. Merasa senang. Terutama juragan Mahdor dan lurah Sueb. Seger setelah itu orang banyak berdatangan. Sebagian dari mereka ingin segera menolong. Namun keinginan itu tertekan serentak kepada orang-orang itu lurah Sueb bersungut-sungut dengan nada mengancam :

 

« Awas ! Barangsiapa jadi pengikut Gestapu-pe-ka-i bakal nerima nasib serupa ! »

Dan juragan Mahdor tak ketinggalan memperlihatkan taringnya, berkata : « Orang kafir tak boleh dikasih hati ! Tuhan mengutuknya ! »

 

Maka semua orang yang semula berniat baik untuk menolong menjadi kecil hati. Mereka surut beberapa langkah, hanya mampu memandangi tubuh Amir dengan penuh rasa cemas. Kata-kata « Gestapu-pe-ka-i » dan « kafir » yang dilontarkan dari mulut para penguasa itu tak ubahnya seperti wabah penyakit yang mendatangkan maut. Lantaran jika orang atau seseorang sudah memperoleh cap « gestapu », « pe-ka-i » dan « kafir » artinya boleh saja dia diasingkan. Diperas. Diperlakukan sewenang-wenang sampai kepada menghilangkan nyawanya. Dan para penguasa dengan seenak perutnya saja mencap siapa yang tidak disukai, yang bakal merugikan kepentingannya dengan kata-kata itu.

 

Tetapi sekali ini tidak semua orang bisa digertak. Sobiran, salah seorang nelayan tua daerah itu, segera tampil hendak menolong. Semula lurah Sueb hendak mencegah, tapi keburu disentak :

« Orang kafir atau bukan, gestapu atau bukan, kalu jadi bangkai bukankah bakal bau busuk ? Kalau ditelantarkan, yang mati tidak tau apa-apa. Tapi kita yang hidup ? Ajaran agama melarang umatnya menelantarkan mayat. Bukankah begitu, agan ? »

 

Oleh kata-kata yang dengan sengaja dilontarkan ke muka lurah Sueb dan juragan Mahdor itu membikin keduanya saling memandang. Tercengang. Bungkam. Naim, melihat tuannya diam saja juga tidak berbuat apa-apa ketika Sobiran menjamah tubuh Amir. Kemudian menyusul Tukul. Segera Sobiran menggunakan  kain-sarung yang diikatkan dipinggangnya sebagai pembalut luka-luka Amir. Kemudian lagi datang isteri Amir bersama ibunya. Dan juragan Mahdor bersama lurah cepat-cepat pergi. Sesaat sebelum Warso sampai ke situ…

 

*

 

HINGGA detik itu Warso masih tetap tercenung diam, sekali pun terus bertanya-tanya dalam hatinya. Apa kesalahan Amir ? Dia kenal nelayan muda itu bekerja di salah sebuah perahu mayang milik juragan Mahdor. Sebagi bidak  yang rajin, jujur dan penyabar. Tapi, akh, kenapa jadi begitu dia ? Warso terkejut ketika saat itu lurah Sueb kembali muncul diiringi tiga orang hansip dan Gofar si tukang -pukul juragan Mahdor. Sambil bercekak pinggang lurah pun berteriak :

« Sudara-sudara diharap bubar ! Jangan ngumpul di sini. Buat apa nonton bulus laknat itu, ha ? Ayo bubar ! »

« Bubar ! Bubar, cepat ! » hardik seorang hansip menirukan suara lurah sambil mengamang-amangkan bedil.

« Minggat ! » bentak hansip-hansip lainnya hampir berbareng.

Kerumunan orang di situ pada bergumam. Ribut. Ada yang mendengus sambil mencibir menahan kebencian. Ada yang meremas-remas rambutnya. Dan ada pula yang mengeritingkan jari-jemarinya hingga membulat. Bagi ibu-mertua Amir, wanita berusia kira-kira enampuluhan itu, dirasakan belum pernah terhujam oleh kata-kata sekeji itu, sehingga ia seperti tersengat. Menjelangakkan leher. Lalu menyeka airmatanya. Darahnya mendidih dan mengalir ke kepala seperti aliran listrik. Panas. Hatinya terbakar. Dia bangkit dan menatap wajah lurah Sueb dengan sinar-mata menyala-nyala seraya menuding :

« Aih aih…benar-benar binatang, kau. Buaya-darat ! Berbuat seenak perutmu, hhh…Edan ! »

Seketika lurah itu tenganga, alisnya terangkat.

« Sudah kau gagahi anak perempuanku, » umpat nenak itu seterusnya, « kini kau tembak mantuku. Edan ! Belon puas kau, buaya-darat ?) »

Lurah Sueb beringas. Tidak diduganya perempuan tua itu berani mengucapkan kata-kata sedemikian rupa dihadapannya. Di hadapan umum lagi. Mukanya cepat berubah menjadi merah padam. Berkata gagap :

« E-eee… ! Apa…apa katamu, bulustua ? Seperti si Amir, kau pun berani betingkah macam-macam ya ? Berani memfitnah ya ? »

Dalam mengucapkan kata-katanya itu, lurah Sueb maju makin mendekati nenek. Tapi yang didekati bukan malah takut, melainkan bersitegar dan membalas tegas :

« Fitnah ? Fitnah, kau bilang ? Aih aih, dasar edan ! Ada buktinya. Ada saksinya - aku sendiri ! Sekarang, untuk nutupin kelakuanmu, melampiaskan nafsu binatangmu, kau tembak mantuku. Hhh, dasar buaya-darat ! Edan ! »

Lurah Sueb melongo. Kehilangn suara. Tubuhnya menggigil menahan rasa malu sekaligus amarah dalam menerima tudingan nenek itu.

 

*

 

SESUNGGUHNYA, soalnya bukan sekedar lurah itu telah mengagahi anak perempuan nenek itu maka Amir sebagai seorang suami berani mengangkat kepala di hadapan para penguasa. Melainkan, sebab utamanya yalah kecurangan-kecurangan yang keterlaluan dari merekalah yang membikin kesabarannya habis tandas.

Seperti kerapkali terjadi, ketegangan timbul pada saat dilakukan penimbangan hasil penangkapan ikan. Untuk yang kesekian kalinya, lagi para petugas pelelangan dan koperasi serta lurah dan juragan Mahdor dengan sesuka hati mengambili ikan yang bagus-bagus - yang besar dan segar-segar. Dengan alasan « buat lauk-pauk » atau « buat dimakan sendiri ».  Dengan demikian pendapatan mereka telah berkurang sebelum dilakukan penimpangan dan pelelangan.

Dalam pada itu, Darwis, wakil kepala koperasi, memberitahukan bahwa selain potongan-potongan yang sudah biasa dilakukan, kini ada potongan baru berupa dana keamanan desa dan pajak pembangunan yang direncanakan oleh pemerintah Orde Baru. Terhadap semua itu para pandega yang bekerja seperahu dengan Amir hanya menggeleng-gelengkan kepala.

Ketika ikan hasil kerja mereka mulai ditimbangi, sekali lagi Amir menyaksikan kecurangan para petugas pelelangan. Yaitu dengan mencatut jumlah berat timbangan yang sesungguhnya. Dengan suara yang tinggi Amir memprotes tanpa mempedulikan ada lurah Sueb dan juragan Mahdor di dekatnya. Tetapi yang diprotes bukan mengakui kecurangannya, malah merekalah yang lebih marah. Termasuk juragan dan lurah. »Kalian penipu ! » kata Amir keras, « Kenapa tidak seluruhnya saja kalian rampok hasil jerih-payah kami ? »

Ucapan itu diiringi dengan tudingan yang tertuju pada  orang-orang yang melakukan kecurangan. Merasa terhina, lurah dan juragan Mahdor berang sekali. Membalas dengan menuduh Amir sebagai « gestapu » dan « kafir ». Juragan malah meminta kepada lurah untuk memanggil hansip.

Melihat tanda-tanda keadaanya akan menjadi sangat gawat, salah seorang bidak memperingatkan Amir agar segera meninggalkan tempat itu. Dan dia menuruti. Akan tetapi beberapa saat kemudian komandan hansip Naim yang mendapat perintah dari lurah Sueb segera mengejarnya. Dia berlari-lari kecil ke tepi pantai dan hendak mencapai sebuah sampan untuk segera bertolak. Namun sesat sebelum tangannya sempat menjamah sampan itu, Naim sudah lebih dulu melepaskan tembakan ke arahnya hingga dia terjerembab…

 

*

 

SEPERTI HALNYA Amir, apa yang diutarakan ibu mertuanya itu kebenaran belaka. Sebab itu lurah Sueb sulit membantahnya. Akan tetapi sebagai penguasa ia tak akan memperkenankan orang-orang yang berada di bawah kekuasaannya berbicara dengan leluasa. Apalagi bicaranya mengancam kepentingannya. Jika semua itu dibiarkan, maka namanya akan ternoda. Sekalipun dia sendiri pelakunya. Oleh karena itu segera ia tampil dengan maksud membungkam mulut nenek itu dengan sekali tempelengan sambil mengancam :

« Jangan sembarang ngomong, bulustua ! Awas… ! »

 

Begitu kerasnya pukulan itu, membikin nenek itu terhuyung-huyung, kemudian terjatuh dalam pelukan Tukul yang secara spontan dan sigap menyangganya. Darah meleleh dari sela bibirnya. Kemudian Gofar beranjak hendak merenggut dan memukuli nenek itu. Tetapi sesaat sebelum itu Warso cepat melompat manghalangi. Bersama Sobiran dilindunginya nenek itu, berdiri tegar menantang Gofar dengan sinar mata berapi-api. Sobiran bilang dengan tenang tapi tegas :

« Cukup sudah ! Seorang jawara apa pantes melawan perempuan…tua ! »

 

Gofar menjelangak , alisnya terangkat, mendengar ujarkata Sobiran yang bernada ejekan sekaligus tantangan itu. Tanyanya gagap :

« Lantas kalian mau apa ? »

 

« Tak usahlah bertanding sama nenek-nenek ! » balas Sobiran, juga dengan nada tenang tapi tegas.

 

Kerumunan orang yang semula akan bubar tidak jadi bubar. Mereka pada melohok menyaksikan Gofar yang terkenal jagoan lagi bengis itu akan segera mencabut golok panjang yang terselip di pinggang untuk menantang Warso dan Sobiran ataukah bagaimana. Mereka tercengkam waswas dan keheningan seketika, hingga kemudian dikejutkan oleh teriakan isteri Amir :

« Kaaaaang… ! »

 

Lengking pekik  itu melambung cepat ke angkasa. Gemanya menusuk-nusuk hati para pendengarnya hingga terasa ngilu  dan pedih. Pekik seorang perempuan yang ditinggalkan suami untuk selama-lamanya. Pekik jiwa perempuan yang meronta-ronta tidak rela menerima nasib. Nenek itu pun, sang ibu mertua Amir, nerempuyuk sambil mendengar ratapan anaknya. Ratapan darah-dagingnya sendiri. Ia pun tidak rela ditinggalkan menantunya, tergambar oleh jari-jemarinya yang menggeletar membelai rambut dan muka Amir yang pucat tak berdarah itu. « Anakku, oh, menantuku… », gumamnya berulang-ulang.

 

*

 

WARSO, Sobiran dan Tukul merunduk menanggung perasaan teramat pedih. Sedang para nelayan lainnya pun kini tanpa menghiraukan keselamatan diri mereka, tanpa menghiraukan para penguasa, pada mendekat. Mereka turut merasakan apa yang dirasakan keluarga Amir. Kendati tanpa dinyatakan dengan kata-kata. Tapi dari wajah dan sinar mata mereka tergambar rasa duka yang mendalam. Sedangkan lurah Sueb sendirian mencibirkan bibir dan mendengus dengan rasa sebal. Lantas dengan diiringi Gofar dan para hansip dia melangkah tergeot-geot meninggalkan tempat itu.

 

« Sudah, jangan ditangisi terus, » ujar Sobiran pada isteri Amir, suaranya pelan tapi jelas dan ramah. « Mari kita bawa pulang segera. »

 

Dengan perasaan remuk-redam dan  gigi bergemeretak menahan geram terhadap kezaliman, Warso segera merangkul dan membopong jasad Amir yang sudah tak bernyawa lagi menuju perkampungan. Diiringi keluarga Amir dan para nelayan lainnya.  (1970) ***

 

Catatan:

Naskah "Suatu Ketika Di Pantai Utara" cuplikan dari buku "Debur Ombak Pantai Utara" yang digubah oleh Bande Bandega alias A.Kohar Ibrahim seketika berada di "Cengkareng" tahun 1970.  Terbitan terbatas dengan alat stensilan berkat bantuan Iswar dan Sarkam, penjilidan istimewa oleh arek Suroboyo: Ismail.

 

Pernah disiar beberapa media massa cetak & online. Majalah Sastra & Seni Kreasi n° 19 (1989-1994), penerbit Stichting Budaya Amsterdam Holland. Siar ulang Facebook 25 Mai 2011.***

__._,_.___
Recent Activity:
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com

-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
.

__,_._,___

+ Add Your Comment

Sponsored by