Advertise Box

[ac-i] Ziarah Asahan Alhamdulillah - Catatan A.Kohar Ibrahim

 

Ziarah Asahan Alhamdulillah

 

 

Catatan dari Brussel (24)

 

Oleh A.Kohar Ibrahim

 

*

Harian Batam Pos

21 Juli 2003

Galeri Esai Situs Cybersastra.net

14 Maret 2004

*

 

 

 

KEPADA Asahan Aidit sendiri sudah saya nyatakan belasan tahun lalu, bahwa di mancanegara, di antara sekian banyak penyair Indonesia eksil, dialah yang paling kuat. Baik dalam keharmonisan pengungkapan isi maupun dukungan bentuknya. Kekuatannya terutama dalam menyatakan perasaan dan pikirannya yang lugu, bening dan cerah. Meskipun, mungkin saja, kecerahannya itu bagi sementara pembacanya dirasakan terlampau sekali. Hingga bukan lagi kesejuk-hangatan yang dirasakan, melainkan kegerah-panasan. Hingga menggelisahkan. Bahkan bukan tak mungkin pula bisa menerbitkan amarah karena kesakitan atau luka parah. Sekalipun yang diungkapkannya itu sarat akan kebenaran yang hakiki. Kebenaran dalam kreasi seni sastra Asahan.

 

Saya memperoleh kesan demikian setelah menerima berkas-berkas puisi Asahan dalam rangka partisipasinya untuk usaha penerbitan yang kami kelola, seperti majalah-majalah Kreasi dan Arena dalam periode 1990-2000. Kesan mana diperkukuh oleh kumpulan sajaknya yang berjudul "Menangisi Viet Tri". Sehingga tak ayal lagi saya berbisik sendiri, bahwa membaca Asahan Aidit yang juga untuk kumpulan sajaknya tersebut namanya berubah menjadi Asahan Alham, maka cepat dalam benak saya terasosiasi nama penyair Libanon yang masyhur: Kahlil Gibran. Dengan sajak-sajaknya seperti "Ampun Jiwaku", "Lagu Gelombang", "Saudara-saudara Sebangsaku", "Nyanyian Sukma" dan lain sebagainya.

 

Syukur Alhamdulillah adanya Asahan Alham alias Asahan Aidit dengan kreasi prosa dan puisinya yang monumental. Seperti roman berjudul "Kembang dan Perang" dan puisinya "Ziarah" itu. Yang merupakan pengungkapan dalam bentuk sastra akan hal ihwal kehidupan dirinya dalam hubungannya dengan kehidupan masyarakat yang pernah dikenal dan dihayatinya sendiri. Teristimewa sekali yang berkenaan dengan alam dunia yang untuk kurun waktu tertentu di satu pihak dianggap yang dicita-idamkan dan dipuja-puji sebagai yang tak terkalahkan, mulia dan agung, dipihak lain dianggap sebagai utopis, mengerikan, kesetanan, tabu dan dinajiskan.

 

Dari dua ujung pandangan akan apa yang disebut sebagai gerakan alam dunia "sosialisme-komunisme" itu, bagaimana sih yang sesungguhnya? Dalam kenyataannya? Bagaimana sih insan-insan yang menjadi pendukung atau pengikutnya? Bagaimana pula saling-hubungannya? Hubungan internal sendiri maupun yang dengan eksternal atau masyarakat luas yang terdiri dari beragam golongan, aliran kepercayaan atau ideologi?

 

Selaras dengan pokok tema yang sarat dengan kerohanian, seperti halnya sang abang Sobron Aidit, Asahan dalam "Ziarah" juga mengutarakan perasaan dan pikirannya terhadap sang abang yang tertua: D.N. Aidit. Sudah dapat dirasakan betapa keintimannya dalam bagian pertama (I) :

 

Tahun ini kau akan bertujuh puluh / Seandaikan tak terbelah di enam enam / Aku merangkak ke lima lima / Anak-anak bertaburan, cucu-cucumu tak lagi menyandang namamu

 

Bukan sesal yang dibenamkan pada tiap pelarian / Apalagi arti umpatan pada makamu yang tak bertanda / Sebagian orang sempat menghirup keharuman / Bunga bunga merah janji janji surga terbengkalai

 

 

Menelaah adanya gerak kehidupan hal-ihwal dengan salinghubungannya dari yang berskala minimal hingga maksimal; dari lokal, nasional sampai internasional inilah yang bisa dianggap sebagai sesuatu yang bermakna. Yang bisa memudahkan kita untuk memahami hal-ihwal yang rumit berseluk-beluk lewat karya-karya seni sastra. Seperti kreasi puisi berupa sajak berkisah yang berjudul "Ziarah" itu.

 

Apalagi, istimewanya, karya sastra berupa sajak tersebut adalah bagian dari suatu kesatuan kumpulan karya dari penulis-penulis lainnya yang berjudul serupa. Dan apalagi, para penulis atau penyairnya menyandang nama serupa karena sebagai "tiga bersaudara". Lebih jauh, dari bahan bacaan karya tersebut, bisa dipahami keberlakuan pribasa: "meski kepala sama berbulu, pendapat berbeda-beda." Yang tercermin baik dalam aktivitas-kreativitas maupun dalam penafsiran akan hal-ihwal di dalam konteks situasi-kondisinya masing-masing.

 

Perihal adanya kesamaan sekaligus keberbedaan di kalangan keluarga Aidit umumnya, khususnya di antara ketiga penulis bersaudara itu, tercermin dari sajak "Ziarah" ke-II. Dalam mana, secara cerah diungkapkannya keadaan masa muda, "Berpuluh tahun lalu ketika cinta masih berarti / Perawan masih dihormati", dan ibu-bapak sangat memberi perhatian, bukan saja pada keluarga juga pada perjuangan bangsa. Masa dimana sang abang  D.N. Aidit mulai berkesempatan mendidik diri dengan ajaran teori revolusioner. Asahan terkenang:

 

"Terkadang ayahku mengajakku ke sebuah gunung / Gunung Tajam Bini yang artinya gunung perempuan / Di puncaknya berbaring sebuah danau teduh mengalir jernih / Di sana abangku membaca KAPITAL diusia puber / Karna ia bersekolah Belanda sempat buku itu ke tangannya"

"Lengang sunyi tertegun bagai air telaga / Ia adalah juga wajah ayahku yang keras tapi berhati / Kesunyian yang lebih pekat daripada mati / Tapi juga keindahan yang lebih terapung daripada mimpi"  (hlm 68).

 

Akan tetapi suasana ke-lengang-sunyian itu kiranya mengandung tenaga luarbiasa yang bisa membawanya jauh ke seberang lautan. Sebagai tenaga yang bisa mengapung, menghanyutkan, menggelorakan bahkan bisa menjadi luarbiasa kedahsyatannya. Seperti badai. Seperti prahara. Ide-ide yang diserapnya telah berubah menjadi tenaga yang mengubahnya. Mengubah hubungan saling perhatian dan kasih sayang yang terbatas pada kekeluargaan yang kecil meluas membesar hingga berskala jutaan jiwa. Bahkan jauh lebih besar dari itu. Yang disebut-sebut sebagai Wong Cilik. Sebagai Rakyat. Sebagai kaum pekerja. Sebagai kaum Revolusioner. Sebagai kaum Patriotik sekaligus Internasionalis.

 

"Kasihnya tak lagi punya hirarki dan timbangan /Terlalu agung yang dipeluknya," kata Asahan menegaskan kepengabdian sang abang D.N. Aidit. "Hingga rumpunnya sendiri tenggelam tak lagi dijengkaunya / Harta siapakah dia sebenarnya / Apa yang pernah terpendam di hatinya / Tanyakan pada sunyi / Tanyakan pada Gunung Tajam Bini / Aku tak sanggup menjawabnya" (hlm 69).

 

Apakah terjadinya perubahan dalam jiwaraga D.N. Aidit sudah sedemikian cepatnya bagaikan kilat berdenyar teriring guntur menggelegar? Saya berkesempatan untuk suatu periode singkat tertentu menjadi saalah satu sosok saksinya. Dalam periode tahun enampuluhan abad lalu. Sang pemimpin gerakan pembela Wong Cilik alias Rakyat Pekerja itu kemajuannya luarbiasa pesatnya.

 

Saya sendiri sempat menyaksikan dia sebagai sosok luarbiasa ramahnya dengan selalu tampil sebagai orang biasa saja. Namun sampai pada menjelang azalnya telah diagung-agungkan oleh pengikutnya sedemikian rupa. Dari hanya sebagai cahya dipa alias pelita berubah sebagai cahya sang surya! Yang dicintai seraya dipuja-puji nyaris sebagai sang Dewa.

 

Apakah fenomena sedemikian itu merupakan suatu kecenderungan umum dalam masyarakat agraris yang berakar dalam agamis? Yang mempertandakan kekuatan luarbiasa sekaligus juga kemah-lapukannya? Bagaimanapun juga, gerakan yang dipimpin D.N. Aidit yang fenomenal itu telah mengundang kecemburuan teriring kebencian yang mengerikan. Bukan saja dari kekuatan lawan politik lokal atau nasional, melainkan juga global. Apalagi di arena internasional sedang terjadi Perang Dingin, di samping perang-perang pembebasan nasional di kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin.

 

Setelah komplotan kekuatan reaksi berhasil merebut kekuasaan denga kudeta militer yang berhasil dari tangan Presiden Sukarno yang didukung D.N. Aidit, maka tamatlah pula riwayat D.N. Aidit dan gerakan sosio-politik-nya. Dalam "Ziarah" ke-III, Asahan mengutarakan baris-baris puitis yang sarat akan kejadian yang tragis:

 

"Perburuan yang tak kusaksikan / Tapi maklumatnya datang / Dari pengayun pedang dan kelewang / Kami adalah babi-babi rusa menjangan dan kambing / Yang tak lagi mengandalkan tanduk dan taring /

Sembahyang dan doa-doa yang kau hafal / Melebihi kiai dan guru ngaji / Jadi pengantar upacara rebutan pahala / Pesta dan kenduri pembantaian manusia / Juga dihalalkan oleh puisi-puisi dan prosa"  (hlm 70).

 

"Bukankah kau khattam tiga kali Al Qur'an / Aku berhenti di juz ketiga lalu berangkat ke Batavia / Iba hati Siti Jahara ulama yang juga sedarah / Wanita beriman tabah hidup didera perpisahan / Mati anaknya ketika berumur lima / Kemudian mati anak sulungnya - bujang lapuk di perantauan / Walau Tuhan memberinya usia sembilan puluh / Tapi seterumu mengurung bumi dan langit ini / Tiga puluh tahun aku menanti / Dan Busu Siti akhirnya akhirnya pergi / Sia-sia menunggu hingga rindunya membeku / Kampung dimana kau telah dilahirkan / Hingga kini dipagari pemburu-pemburu / Sudah generasinya yang kedua / Siang malam tak memejamkan mata / Seratus generasi akan berdinas / Hidung mata dan telinganya / Bagaimana tabir itu bisa kutembus / Walau betapa rindu hatiku / Pada kampung dan nisan ayah bunda / Tombak-tombak itu tak pernah disandarkan / Sejak Japok kena tirok / Bagaikan ikan sembarau yang dulu kau buru / Tapi Japok berdosa karna denganmu pernah bicara / Juga Jahari temanku sebangku di usia sekolah / Delapan tahun meringkuk / Dosanya karna bernada bangga menyebut namamu..." (hlm 71).

 

Demikianlah kenyataan event yang berupa tragedi diungkapkan Asahan lewat sosok-sosok keluarga dan di sekitarnya yang terdekat. Suatu lukisan yang mencerminkan kenyataan dalam skala yang lokal sekaligus nasional. Suasana teror putih yang menguasai seluruh negeri dan berjangka lama. Hingga menumbuh-suburkan budaya ketakutan. Ketika baris-baris sajak berkisah berjudul "Ziarah" itu ditulis, rezim teroris resmi yang disebut Orde Baru masih dalam keadaan jaya-jayanya. Awal tahun 1993.

 

Namun, sekalipun kemudian sebagai rezim telah ditumbangkan dan kepalanya lengser, tradisi budaya atau mentalitas Orbais masih bersitegar. Bahkan hingga baris-baris catatatan ini disusunpun mentalitas nista itu masih menjangkiti sementara manusia Indonesia. Karena, bagi sementara orang, rupanya sukar sekali untuk membuka mata hati dan pikiran. Untuk mengungkap memahami kenyataan faktual demi menemukan kebenaran dan keadilan. Agaknya mereka lebih terbiasa oleh budaya takut dan budaya dusta. Budaya penggelapan yang anti-peradaban manusia yang manusiawi.

 

Sungguh paradoks, sebagaimana diungkapkan oleh Asahan, bahwa yang memiliki dan mempraktekkan "teori" dendam kelas secara murni  adalah justeru lawan kelas. Yang dijadikan seteru gerakan politik si Abang. Ditunjukkannya tanpa tedeng aling-aling siapa mereka itu (hlm 73) :

 

Mereka adalah pembunuh-pembunuh lancung / Membunuh menipu memfitnah / Lahap bagai pengorek terasi di rumah / Sedang dendam kelas yang kau ajarkan / Karna telah juga lancung ke ujian / Cuma mengasapi kurban-kurban di pembantaian / Justeru seterumu itu / Yang memendam dendam murni / Mereka akan mencariku / Selama aku masih ujud / Apapun yang akan kukatakan / Apapun yang kukutuk / Apapun yang kukhianati / Apapun yang kutolak / Apapun yang kuingkari / Curiga mereka adalah batu / Sekeras intan seabadi Tuhan / Karnanya aku tak percaya pada mereka / Seperti juga aku tak lagi mempercayai jalanmu

 

Aku pernah sayang padamu / Tapi tidak pada kehancuran yang kautinggalkan...

Aku cuma percaya / Pada pertempuran yang tak pernah usai / Perhitungan yang belum selesai / Akan diurusi pada peristiwa tak terduga

 

Baris-baris tersebut di atas yang merupakan "Ziarah" (III) itu menurut hemat saya merupakan bagian yang terpenting, bukan saja dari suatu kesatuan gubahan puisi itu semata-mata, melainkan juga penting dalam memahami makna sekaligus sikap pendirian sang penyair itu sendiri. Kenapa, misalnya,  dia memberi pertanda dengan perubahan nama dari sebagai Asahan Aidit menjadi Asahan Alham(dulillah).

 

Apakah motivasi yang diayominya? Lantaran jenuh pada kehidupan Neraka dunia lantas menyadari akan perlunya kembali ke asal mula yang mendasar? Agar bisa memperoleh kesempatan masuk Swargaloka? Pada bagian-bagian selanjutnya, kiranya kita akan bisa memahaminya lebih jelas. ***

 

Catatan :

Naskah Ziarah Asahan Alhamdulillah ini disiar sebagai pelengkap dari naskah ZIARAH - Kreasi N°17 (versi biodata yang dilengkapi). Adalah naskah dari berkas CdB (Catatan Dari Brussel) N° 24. Pernah disiar media massa cetak & online, pertama siar Harian Batam Pos edisi cetak & online  21 Juli 2003. Siar ulang di Galeri Esai Situs Sastra Nusantara Cybersastra.Net 14.03.2004, ABE-Kreasi Multiply Site dan lainnya lagi. Siar ulang Facebook 22 Mai 2011.

Informasi yang tertera sebatas yang saya catat sampai penyusunan naskah tersebut. Beda dengan DNA & Sobron, Asahan masih panjang umur dan terus beraktivitas-kreativitas, hal mana bisa dilacak simak di berbagai sarana komunikasi internet. (AKI)

__._,_.___
Recent Activity:
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com

-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.


Get great advice about dogs and cats. Visit the Dog & Cat Answers Center.

.

__,_._,___

+ Add Your Comment

Sponsored by