Advertise Box

[ac-i] Pemeintir Kumis Di Bawah Pohon Cemara - Cerpen A.Kohar Ibrahim

 

 

Pemelintir Kumis Di Bawah Pohon Cemara

 

 

Cerpen :

 

A.Kohar Ibrahim

 

 

 

 

BERITA ku baca barusan teriring desah tarikan napas panjang dan desis tanpa ulang mengulang : « Sang Pemelintir Kumis itu akhirnya mendahuluiku juga --  seperti Agam seperti Kamal seperti Sobron seperti Aziz seperti Afif seperti Khaidar dan Orang Medan lainnya ? »

 

Kini, setelah mencapai usia delapanpuluhtahunan, dia pun wafat. Ah, berbeda dengan para penulis yang dapat sebutan « orang Medan » tapi sebenarnya « orang Sumatera Utara" yang pernah aku kenal itu, dari padanya bukan baris-baris puitis atau teoritis yang terlebih dulu terkesankan di benak kepalaku, melainkan kumis. Kumis yang cukup lebat lagi panjang melintang jadi andalannya baik selagi melamun maupun ngobrol mengisi waktu senggang untuk elusan atau pelintir-pelintirannya.

 

Seperti seringkali aku saksikan manakala sesudah sarapan pagi di Tangsi Cengkareng kami ngobrol di bawah pohon cemara yang barisannya mengitari lapangan sepakbola. Maka ketika obrolan ngalor ngidul mengutarakan soal yang jadi persoalan hangat lokal maupun internasional, seperti pertarungan dalam GKI dengan segala variasi is-is-an macam anarkis, oportunis, revisonis, dogmatis, faksionis, sektaris, sosio-fasis, sosio-imperialis dan macam-macam lainnya lagi, dia yang panggilannya kemudian jadi Tungbela itu tak ambil suara. Biasanya hanya jadi pendengar saja sembari mengelus atau memelintir kumisnya. Tetapi kalau soal yang diobrolkan menyangkut soal-soal praktis di lapangan – apakah melancarkan kegiatan di kalangan masyarakat atau malah di medan juang yang gawat seperti peperangan, dia paling antusias.  Seperti perjuangan melawan serdadu fasis Jepang, Sekutu dan pemberontakan DI/TII di Sumatera Utara ; seperti perjuangan pembentuk sekalian pembinaan organisasi yang digelutinya sejak masih masa muda remaja. Berkat sepak-terjang dalam perjuangannya yang tanpa kenal lelah, maka diapun dikenal sebagai orang yang berjasa besar. Terutama sekali di wilayahnya. Teristimewa sekali wilayah Pantai yang jadi puja-pujiannya teramat sangat. Pantai tempatnya tumbuh berkembang ; yang menjaga maka diapun menjaganya seperti menjaga bijimatanya sendiri.

 

« Coba coba saja kalau memang berani menghina atau mengotori Pantaiku, » katanya yang sering dibilang ulang, kalau sedang bicara soal yang jadi persoalan yang dianggapnya merupakan prinsip, sembari membusungkan dada dan tanggannya siap sigap seperti menggenggam sebilah rencong. « Langkahi dulu mayatku … ! »

 

Dalam menjaga dan membela nama wilayah Pantainya dia memang bukan hanya dalam kata-kata melainkan dibuktikannya dalam perbuatan sepanjang jalan perjuangan hidupnya. Kecintaannya nyaris fanatik yang pantang mendengar kritik. Lantaran pengakuannya sendiri : « Kalian tau, aku ini sebangsa Syahdon, Go Sek, Hasyim Sirait, Lubis, Hutajulu, Bachsan dan teman seperjuangan lainnya lagi. Mereka yang berjuang demi kemerdekaan tapi mereka pula  yang menderita siksa dan mati di penjara Orba, selain difintah semena-mena… »

 

Seketika itu kami – aku dan Khaidar – yang paling sabar jadi pendengar, menyaksikan dengan jelas suaranya tertahan-tahan lantaran menahan amarah ; pandang matanya berbinar seperti lagi menyaksikan ombak besar gemuruh gulung gemulung menerjang sepanjang panjang pantai. Kami tentu saja memakluminya. Memaklumi kutukannya pada tindakan kekerasan penguasa, pun pada fitnahan yang sewenang-wenang. Tapi aku coba mengutarakan adanya kekurangan atau kelemahan kaum yang tertindas. « Seperti yang diutarakan dalam dokumen Kritik Otokritik itu, » ujarku, datar tapi jelas.

 

Sepatah kata yang mengingatkannya itu seperti sengat saja rupanya. Membuat dia gemetar menahan gusar. Gusar terhadap musuh gusar pula pada diri sendiri agaknya. Sehingga terucapkan kata-kata kasar : « Pukimak… ! »

 

Seketika itu pula kami – aku dan Khaidar – terkejut, melongo. Dia menatapku tajam, bola matanya nampak kemerah-merahan, lantas melengos sembari mendengus, bergumam : « Pencuri manouk lam tutupan, pencuri intan ateuh kurusi ! »

 

Untuk beberapa saat obrolan kami terhenti. Hanya untuk disudahi dengan dimulainya acara olahraga setelah para peminat berdatangan – apakah lari-lari saja, ataukah main bola basket atau sepakbola. Sesaat sebelum kegiatan itu, aku masih kesempatan bilang dengan tenang : « Coba kita kaji dokumen Kritik Otokritik  yang baru kita terima itu yah, Pak ? Nanti kita turut dalam grup diskusi… »

 

Dia tidak mengucap jawaban, tercenung menung sembari megelus-plintir kumisnya perlahan-lahan. Sepintas kilas dia melirikku. Kunampak pandangnya meredup seperti diidap kemasygulan.

 

Untuk beberapa lama, lebih dari seminggu, sesudah sarapan pagi, dia tidak seperti biasanya mengobrol ngalor ngidul di bawah pohon cemara. Penasaran, sekali aku mampir mendadak masuk kamarnya di Gedung 5 bekas tangsi TPR itu.

 

« Sibuk yah, Pak ? » sapaku ramah, pura-pura tak tahu menahu di atas meja kecil terletak dokumen penting yang jadi persoalan itu, selain sebuah patung Mao Tje Tung berdiri agung di hadapannya. Seketika aku senyum, tapi hanya dalam hati saja.

 

Senyumku benar-benar senyum terbuka lega, ketika masa diskusi grup studi tiba, dia begitu bersemangat mengeluarkan pendapat – mengutip-sitir isi dokumen yang dikaji. Bahkan, saking semangatnya, pada waktu itulah dia memproklamirkan diri ganti nama panggilannya. Dari panggilan biasanya menjadi : Tungbela. Alias  Pembela Mao Tsetung alias  Sang Bapak Tukang Pelintir Kumis itu. ***

 

10 Oktober 2008.

 

Catatan:

(1).« Pencuri manouk lam tutupan, pencuri intan ateuh kurus ». Pribahasa Aceh, artinya: Pencuri ayam dijebloskan ke dalam penjara, sedangkan pencuri intan menjadi penguasa."

(2).TPR: Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok.

Ilustrasi: Foto Kohar & Bokar di lapangan sepakbola, NK 1967.

Disiar ABE-KREASI Multiply Site 10 Oktober 2011. Siar ulang Facebook 26 Mai 2011.

__._,_.___
Recent Activity:
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com

-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.


Get great advice about dogs and cats. Visit the Dog & Cat Answers Center.

.

__,_._,___

+ Add Your Comment

Sponsored by