Advertise Box

[ac-i] Cerita Sastrawan Sobron Aidit - Catatan A.Kohar Ibrahim

 

 

Cerita Sastrawan Sobron Aidit

 

 

Oleh A.Kohar Ibrahim

 

 

Catatan dari Brussel

(22)

 

*

Harian Batam Pos

30 Juni 2003

Situs Sastra Nasional Cybersastra.Net

29 Februari 2004

Facebook 22 Mai 2011

*

 

  

DALAM  kumpulan tulisan "Ziarah", Kreasi nomor 17 itu saya utarakan, bahwa "jika abangnya terkenal sebagai seorang politisi pembela wong cilik, maka Sobron yang dilahirkan pada tanggal 2 Juni 1934 di Belitung Sumatera Selatan adalah seorang sastrawan. Pendidikannya dimulai dari H.I.S. sampai Universitas Indonesia". Hal itu semata-mata untuk menggarisbawahi, aktivitas dan kreativitas utama sang tiga bersaudara Aidit. Sekalipun ketiga-tiganya penulis yang juga menggubah puisi.

 

Akan tetapi, selain dikenal sebagai sastrawan, apa pula aktivitas lainnya secara umum? Seperti halnya kebanyakan seniman dan sastrawan lainnya, pengalaman Sobron pun beragam macam. Dari guru, wartawan, pengurus organisasi sampai restoran. Di bidang pendidikan, sesudah menjadi guru di SMA Utama Salemba dan THHK (1954-1963), lalu  pada tahun 1964 menjadi Guru Besar Sastra dan Bahasa Indonesia di  Institut Bahasa Asing Beijing.

 

Sobron juga berpengalaman di bidang media massa, yakni pernah menjadi wartawan Harian Rakyat (1955) dan Bintang Timur (1962. Dalam pada itu, sebagai pengurus Lembaga Persahabatan Indonesia-Tiongkok bersama Prof. Dr. Prijono, lalu dengan Djawoto dan Henk Ngantung (1955-1958). Pengurus Lembaga Persahabatan Indonesia-Vietnam bersama K. Werdoyo dan Nyak Diwan (1960-1962). Pengurus BAPERKI bersama Siauw Giok-tjan dan Buyung Saleh (1960-1961). Sebagai pendiri "Seniman Senen" bersama SM Ardan, Wim Umboh dan lain-lain. Pendiri Akademi Sastra "Multatuli" bersama Prof. Bakri Siregar (1961-1963). Dan akhirnya, salah seorang pendiri "Restoran Indonesia" di Paris (1982).

 

Bagaimana kreativitas seninya? Dari catatan saya sendiri dan juga yang diberikan olehnya, dapatlah diketahui bahwa Sobron sudah mulai kegiatan tulis menulis sejak usia 13 tahun. Karangannya yang mula-mula disiarkan yaitu berupa cerpen berjudul "Kedaung" dalam majalah "Waktu" Medan 1948. Di Jakarta secara kebetulan tinggal bersama-sama Chairil Anwar. Yang berkat bimbingannya, kata Sobron, minat terhadap kesusastraan kian meluap. Sajak-sajak dan cerpen Sobron dimuat dalam Mimbar Indonesia, Zenith, Kisah, Sastra (semua di bawah asuhan H.B. Jassin). Juga  di majalah dan harian Sunday Courier, Republik, Bintang Timur (Bintang Minggu), Harian Rakyat, Zaman Baru, Kencana, Siasat, Mutiara dan lain lain lagi.

 

Termasuk salah satu sosok penulis yang tergolong progresip, lebih-lebih lagi yang giat di lingkungan LEKRA, oleh kekuasaan Orde Baru Sobron pun dimasukkan ke dalam daftar hitam sastrawan dan seniman. Dibrangus. Tidak ada satu pun wadah media massa yang bisa dijadikan tempat untuk mengumumkan karya tulisnya. Selama berada di mancanegara, sedapat bisa dia mengisi beberapa terbitan yang sifatnya serba terbatas. Baik ketika masih bermukim di Republik Rakyat Tiongkok, maupun sesudah hijrah ke Eropa Barat. Sekalipun bukan salah seorang pendiri, akan tetapi setelah saya hubungi, Sobron menyambut dengan memberikan dukungan yang antusias pada upaya penerbitan yang tergolong pers alternatif yang kami lakukan. Seperti penerbitan majalah sastra dan seni Kreasi, majalah Mimbar dan majalah opini dan budaya Arena yang secara legal beralamat di Negeri Kincir Angin. Namun pengeditannya saya lakukan di Brussel. Dari tahun 1989-1999.

 

Penyair sekaligus prosais, Sobron lebih dikenal sebagai cerpenis. Dua kali sebagai pemenang hadiah sastra. Yang pertama dari majalah Kissah/Sastra 1955-1956 untuk cerpennya yang berjudul "Buaya dan dukunnya". Sedangkan yang kedua dari HR Kebudayaan 1961 untuk cerpennya "Basimah".

 

Buku-bukunya yang berupa kumpulan tulisan individual maupun kumpulan bersama -- semuanya dilarang oleh penguasa Orde Baru; "Ketemu Di Jalan" (kumpulan puisi bersama Ajip Rosidi dan SM Ardan), Balai Pustaka 1955-1956; "Pulang Bertempur", Pembaruan 1959;  "Derap Revolusi" (kumpulan cerpen dan novelet), Pembaruan/Lekra 1961.

 

Selain itu, ada berkas-berkas prosa dan puisinya yang tersunting dalam kumpulan-kumpulan tulisan individual seperti "Razzia Agustus" (kucerpen, Stichting ISDM Culemborg 1992) dan "Kaum Agustus" (kucerpen, Kreasi nomor 27 1994),  maupun yang kolektip, seperti "Puisi" (kumpulan puisi Kreasi nomor 11 1992); "Ziarah" (Kreasi nomor 17 1994); "Kesempatan Yang Kesekian" (dan kisah-kisah lainnya), Kreasi nomor 26 1996; "Yang Tertindas Yang Melawan Tirani" (kupuisi Kreasi nomor 26 1997); "Yang Tertindas Yang Melawan Tirani (2)" (kupuisi Kreasi nomor 39 1998).; "Di Negeri Orang" - Puisi Penyair Indonesia Eksil (Amanah Lontar - YSBI, 2002).

 

Sejumlah karya Sobron telah diterjemahkan dalam bahasa-bahasa Russia, Tionghoa, Inggris, Bulgaria, Belanda, Jerman dan Perancis.

 

Selain sebagai penyair, penulis essei dan komentar, Sobron memang  juga "tukang cerita". Cerita-ceritanya erat sekali dengan kenyataan kehidupan sehari-hari, dengan orang-orang dekatnya, dengan wong cilik. Dengan yang memihak, membela dan memperjuangkan kehidupan lebih baik bagi rakyat biasa. Seringkali diungkapkannya dengan humoristis, juga dengan rasa simpati, kemesraan terhadap yang akrab dan kutukan terhadap pendurhaka atau kebiadaban pada umumnya. Jelujur itu memang wajar dari seorang sastrawan yang sejak semula tergolong "seniman engage".

 

Dalam hal sikap dan pendiriannya yang konsisten sedari masa muda, dari empat cerpen (masing-masing berjudul "Bang Amat", "Cabin Boy", "Razzia Agustus", "Ziarah") yang tersunting dalam kumpulan tulisan  "Ziarah" Tiga Bersaudara Aidit itu saja sudah bisa dijadikan bukti yang nyata. Apalagi memang keempatnya mengungkapkan tema jejak-langkah tokoh Bang Amat yang dikenal lagi dihormatinya, yakni tak lain tak bukan adalah Si Abang Aidit yang juga Sang Ketua CC PKI sekaligus Menteri Negara Republik Indonesia di zaman Sukarno.

 

Dari cerita-ceritanya itu, pembaca mendapat gambaran lebih jauh siapa sosok tokoh nasional sekaligus internasional yang telah jadi korban Teror Putih yang dilancarkan  kaum militeris Orba itu. Sebagai tukang cerita, Sobron santai saja mengungkapkan kehidupan salah satu keluarga Melayu Sumatera Selatan itu. Persisnya suatu keluarga besar yang tersebar di Pulau Belitung. Lebih persis lagi, kata Sobron dalam ceritanya tentang "Bang Amat", "ayahnya adalah seorang mantri kehutanan, pegawai boschewezen."

 

"Karena pekerjaannya berkenan dengan hutan, maka kami dulunya selalu tinggal dekat hutan. Dari ukuran keseluruhan, kami bukanlah orang miskin, tetapi sama sekali jauh daripada kaya," tegas Sobron (hlm 25). Lebih lanjut diketahui, gaji ayahnya yang pegawai negeri itu hanyalah sebesar 60 gulden saja. Karena cuma berdiploma SD. Lagi pula itupun bukan sekolah Belanda atau Holland Indllands School (HIS), melainkan sekolah Melayu.  Hanya yang tamatan MULO saja menerima gaji sebesar 100 gulden. Tetapi di Belitung tak ada sekolah MULO. Untuk mendapat diploma seperti itu mesti bersekolah di Jawa atau Sumatera. Karena itulah, semua saudara-saudara Sobron bersekolah ke Jawa. Yang terlebih dulu, sudah barang tentu yang tertua: Bang Amat itu.

 

Dari cerita itulah, saya kira, sebagian besar pembaca kemudian tahu, bahwa nama asli si abang Dipa Nusantara Aidit itu adalah Achmad Aidit. Yang kemudian dipanggilnya Bang Amat. Dan yang digambarkan oleh Sobron dalam cerita-cerita pendeknya sebagai orang yang rajin belajar dan giat bekerja atau beraktivitas dalam kehidupan masyarakat sudah sejak dari masa mudanya. Lebih jauh lagi, si Bang Amat diceritakan sebagai orang yang suka menolong dan menaruh perhatian sangat besar akan nasib rakyat pekerja.

 

"Bang Amat berwatak luhur", begitulah yang hendak dikesankan oleh Sobron dalam ceritanya yang berjudul "Bang Amat" pula. Dengan cara ringan bernas lagi menarik hati. Lantaran merupakan suatu pengungkapan watak sosok insan yang mendasar bagi perjalanan hidupnya. Seperti juga dengan lancar saja di ungkapkan dalam kelanjutan ceritanya yang berjudul "Cabin Boy". Yang selain melukiskan hubungan  akrab dan kasih-sayang adik-abang, juga hubungannya dengan kehidupan perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan. Dengan segala resikonya. Seperti bagaimana selain memelihara semangat perjuangan juga harus pandai membawa diri dalam menghadapi ancaman pihak lawan seperti kaum kolonialis itu. Dalam mana, pada periode situasi tertentu, melakukan kegiatan perjuangan "di bawah tanah" adalah tak bisa dielakkan.

 

Akan tetapi, memelihara keberanian seraya senantiasa siap-sigap menghadapi berbagai kemungkinan sampai yang paling buruk ternyata bukan hanya dibutuhkan dalam perjuangan menghadapi kaum penguasa penjajah asing, melainkan juga dalam menghadapi sikap-aksi kaum reaksi dalam negeri sendiri. Dan dengan ceritanya berjudul "Razzia Agustus", Sobron telah memberikan sajian yang memikat. Bagaimana sikapnya dalam situasi gawat, dimana abangnya yang aktivis perjuangan politik itu sedang diburu kaum militer. Tetapi berhasil "menghilang" atau meloloskan diri "ke luar negeri" dan baru kembali setelah Kabinet Sukiman bubar.

 

Dalam menceritakan hal-ihwal razzia tersebut, terasa kebanggaan si adik terhadap abangnya. Apalagi dia sendiri merasa lega hati, lantaran kemudian dia tidak lagi jadi "untitan kaum militer". Dan si abang pejuang telah "jadi orang" terpandang. Akan tetapi, dalam bagian akhir cerita, kebanggaan berubah duka nestapa.

 

"Sejarah menjadi lain". Tulis Sobron. "Belasan tahun sesudah itu Bang Amat dikabarkan gugur, di dekat Boyolali, dalam perjalanan penahanannya ke ibukota. Orang-orang bilang waktu itu 'disembur logam panas'. Jangankan jasad, nisannya pun tak berjejak. Bang Amat yang hidupnya terutama untuk orang banyak, untuk rakyat, telah tiada. Ia benar-benar telah pergi, bukan menyamar, bukan lari ke luar negeri.... Dan bersamanya pergi adalah ratusan ribu jiwa lainnya, dalam suatu huru-hara pembalasan dendam politik di tanah-airku." (hlm 52)

 

"Abangku tersayang, takkan kusua kembali," kata Sobron pada baris-baris akhir ceritanya tersebut. Teramat amat kasih-sayang dan kerinduannya. Hanya sebagai alasan untuk mewujudkan hasrat kuatnya pulang ke Tanah Air dengan salah satu tujuan utamanya melakukan ziarah.

 

Dia berdaya upaya untuk melaksanakan niatnya itu. Dan memang dia pulang untuk itu. Seperti diungkapnya dalam ceritanya yang berjudul "Ziarah" pula.

 

Berziarah. "Maksudku ini sebenarnya adalah mata-acara pokok dari kunjunganku kali ini, setelah berpisah selama 30 tahun dengan kampung-halaman. Aku merasakan kerinduan yang sangat kepada mama dan ayah. Ketika hidupnya tak kesampaian, baiklah, ke makamnya pun dapatlah menawarkan rasa rinduku. Lagi pula menghadapi bulan puasa, betapa baiknya ziarah dan nyekar." (hlm 56)

 

Yang menarik dan menjadi tumpuan perhatian pembaca cerita Sobron soal ziarah ini bukan saja hasrat-tujuannya yang baik dan luhur, namun pengungkapan suasananya. Dalam situasi dan kondisi kehidupan masyarakat yang berkaitan erat dengan percaturan di arena perpolitikan Indonesia yang telah mengalami kebiadaban. Dengan budaya ketakutan sebagai dampak dari tegaknya kekuasaan negara yang dilandasi politik kekerasan dan kekuatan intelnya.  Sehingga, bahkan seorang jenderal sendiri seperti Nasution menamakan Indonesia sebagai negara intel! Jika sang jenderal yang juga kemudian terkenal sebagai tokoh "Petisi 51" itu saja merasakan demikian, apa pula bagi kaum yang menjadi sasaran sekalian korban utama politik Orba. Kaum yang tertuduh sebagai pendukung "G30S/PKI" dan atau "eks-tapol". Dan apalagi dari orang-orang yang tak lain tak bukan adalah anggota sanak keluarga Ketua CC PKI DN Aidit!

 

Meskipun Sobron pulang bukan untuk melakukan kegiatan yang macam-macam, melainkan hanya untuk berziarah sekalian nyekar makam orangtuanya, namun hasratnya itu terpaksa batal. Apalagi ketika diutarakan kepada salah seorang abangnya, si abang terkaget-kaget mendengar keinginan si adik untuk juga berziarah ke makam abang tertua mereka: Achmad Aidit. Pasalnya, selain riskan juga orang tak tahu di mana makamnya!

 

Cerita-cerita pendek Sobron Aidit itu menarik, terutama kalau ditinjau dari segi sejarah kehidupan sosok tokoh-tokohnya yang menggambarkan jalinan kekeluargaan yang akrab sekalian jejak langkah perjuangan Dipa Nusantara Aidit.  Potret sang Ketua pendukung utama Bung Karno itu menjadi lebih lengkap  oleh karenanya. Lebih-lebih lagi jika kita menyimak bagaimana pula pengungkapan saudara lelakinya yang lebih muda: Asahan Aidit sang penyair sekaligus penulis roman yang kontrovesial. ***

 

Catatan :

Sobron Aidit kelahiran Tanjung Pandan Belitung 2 Januari 1934 meninggal dunia 10 Februari 2007 di Paris Perancis.

Naskah Cerita Sastrawan Sobron Aidit ini disiar sebagai pelengkap dari naskah ZIARAH  - Kreasi N°17 (versi biodata yang dilengkapi). Adalah naskah dari berkas CdB (Catatan Dari Brussl) N° 22. Pernah disiar media massa cetak & online, pertama siar Harian Batam Pos edisi cetak & online  30 Juni 2003. Siar ulang di Galeri Esai Situs Sastra Nusantara Cybersastra.Net 29.02.2004, ABE-Kreasi Multiply Site dan lainnya lagi. Siar ulang Facebook 22 Mai 2011.

__._,_.___
Recent Activity:
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com

-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
MARKETPLACE

Get great advice about dogs and cats. Visit the Dog & Cat Answers Center.


Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.

.

__,_._,___

+ Add Your Comment

Sponsored by