Advertise Box

[ac-i] HARAPAN - Oleh A.Kohar Ibrahim [1 Attachment]

 
[Attachment(s) from abdul kohar ibrahim included below]

H A R A P A N

 

 

Oleh : A.Kohar Ibrahim

 

 

LETIH. Meski tidak lagi jenuh. Iya, merasa letih saja dan belum lagi rasa jenuh yang datang menerjang sekalian merajam bareng keletihan. Kalau sudah letih dan jenuh, maka ceritanya akan lain lagi jadinya.

 

Sungguh, merasa letih keletihan adalah ciri utama dalam derita sakit yang merajam diriku belakangan ini, kini. Selama beberapa bulan sejak awal tahun 2008 ini. Perasaan letih yang kurasakan memang beda dengan letih keletihan lantaran kerja badan atau kegiatan lainnya tatkala sekujur badan sehat walafiat.  Tegas jelasnya, letih keletihan ini, yang mulai terasa sejak awal tahun, kini diketahui gara-gara anemia. Diketahui berkat perawatan sejak masuk ruang Servis Urgen Klinik Saint-Jean. Menjadi salah seorang sitoyennya. Penduduknya. Penghuninya.

 

Masih segar sekali ingatanku, mulai dari melangkah masuk ruang bagian servis layanan urgen sampai mengalami serentetan pemeriksaan, rasa gelisah resah kian bertambah-tambah. Was-was. Penasaran – ingin segera mengetahui persis sebab musabab sampai bisa terjadi pendarahan hingga kehilangan darah lebih dari separuh darah yang dibutuhkan.

 

Dalam cengkam rajam rasa sakit, letih dan was-was, selang seling rebutan kesempatan untuk bangkit dari atas ranjang pasien. Membuka tirai jendela kaca atau keluar kamr dan duduk-duduk di ruang beranda untuk membaca bacaan yang tersedia. Atau juga sekedar berdiri sembari melempar pandang mata ke seputar luar rumah sakit ini. Klinik besar terdiri dari beberapa gedung tinggi yang letaknya sangat strategis. Terutama sekali dari tingkat lima atau tingkat enam – untuk menyaksikan kota Brussel By Day ataupun By Night. Meskipun tidak mungkin bisa menyaksikan dengan gaya bergerak dari satu ke lain tempat yang penting dan menarik dengan kendaraan bus yang khusus. Seperti bus « Brussels Sight Seeing ». Namun, meski tanpa kendaraan macam itupun, selagi berdiri di balik jendela kaca, mata ingatan dan alam pikiranku bisa meluncur laju menyinggahi tempat-tempat yang menjadi tujuan para wisatawan.  Lantaran aku cukup mengenal kota Brussel – selaku salah seorang sitoyen atau penduduknya yang lebih dari sejuta jiwa jumlahnya. Aku mengenalnya sejak 1972. Kenal perubahan-perubahan kemajuannya. Seperti perubahan atas jalan raya Boulevard Botanique yang membentang panjang melewati Klinik Saint-Jean dan Place Rogier. Di Place atau Lapangan Rogier yang didekorasi oleh gedung gedung pencakar langit itu dulunya adalah jalur trem gaya lama. Kini trem dan metro serba modern meluncur menelusuri jaringan rel bawah tanah, sedang di atasnya muncul menjembul sebuah bangunan mini piramid. Jalur-jaluran kendaraan umum di bawah tanah itu menjalar ke segenap penjuru kota, disamping-dampingi oleh jelujur jalur-jalur pipa air ledeng  atau terowongan buangan air bekas atau pun kalenan-kalenan penyalur air alamiah maupun tumpahan air hujan dari kayangan.  Yang kesemuanya menjadikan Brussel yang bermula sebagai Kota Rawa itu tanpa mengalami kebanjiran.

 

Dari balik jendela-jendela kaca besar beranda rumah sakit itu, di sayap kanannya, nampak sekali betapa kehiruk-pikukan di sepanjang panjangnya Boulevard Botanique. Bila aku beranjak, beralih tempat ke sebelah kiri, juga melayangkan pandang lewat jendela-jendela kaca lebar, maka segera menampak pemandangan kota yang cukup memikat hati. Apa lagi di waktu malam hari. Dimana bangunan gedung-gedung tinggi dan gedung bersejarah bersimbah cahaya listrik cerlang cemerlang. Seperti  bangungan gedung yang menjulang tinggi di cakerawala sana. Julangan tinggi menaranya yang semakin tinggi semakin melancip bak anak-panah siap-sigap menerpa sang langit.  Bangunan yang menjulang ke langit itu merupakan salah satu bangunan bersejarah yang terletak di lapangan bersejarah. Yakni yang merupakan gedung Balaikota lama dan yang terletak di Grand Place de Bruxelles. Lapangan Besar Brussel.

 

Di gedung Balaikota lama itu, pada tahun 1977 kami, aku dan para mahasiswa lainnya menerima diploma dari Académie Royale des Beaux-Arts de Bruxelles. Akademi Senirupa Brussel.

 

Dan tentu saja, di gedung itu, selain bendera nasional tiga-warna Belgia, juga bendera Brussel berwarna biru berhias bunga Iris warna kuning keemasan. Warna sarat makna simbolistis : harapan. L'espérance. Harapan akan hidup menghidupi kehidupan yang baik dan lebih baik lagi. Suatu harapan manusia yang mendalam lagi mendasar dari dan bagi sitoyen atau penduduk kota Brussel. Kota yang berusia lebih dari seribu tahun. Dengan rangkaian kisah-kisah bersejarahnya yang menakjubkan di segala bidang kehidupan.

 

Betapa tidak,  kata hati bareng dengan pikiranku, bermula dari hanya sebuah bangunan sederhana berupa Chapelle yang didedikasi bagi Saint-Michel di dekat tepi Sungai Senne itu kemudian berkembang jadi sebuah kota ; menjadi Ibukota Belgia, lantas Benelux dan seterusnya defakto Ibukota Uni Eropa yang menghimpun 27 negara. Dengan adanya pula Markas Besar Nato, maka kota ini menyibukkan diri bukan saja di bidang-bidang ekonomi, politik dan kebudayaan melainkan juga militer. Meskipun dalam kesehari-hariannya yang menonjol adalah kesibukan bidang sosio-ekonomi-budaya dari masyarakat manusianya yang faktual lagi aktual sebagai masyarakat multi-kultural.  Dengan dampak osmosia kebudayaannya yang luarbiasa, sejak berabad-abad lamanya. Yang paling mengesankan lantaran langsung berkenaan dengan diriku sendiri. Yakni pasal kaum eksilan umumnya, khususnya kaum budayawan, seniman dan sastrawan proscrits yang pernah singgah bahkan menjadi sitoyen kota Brussel. Sejak zaman Francesco Petraca (abad ke-13) sampai zaman modern dewasa ini. Dalam mana namaku tercatat sebagai salah seorang di antaranya.

 

Kini, pandang mataku benar-benar tertumpu-tuju pada Grand Place Brussel. Pada gedung Balaikota yang megah. Megah kemegahan dengan menara-panahnya menembus langit bak penunjuk mengilustrasi opini berbunyi : « Semua yang menuju ke atas bertemu. » Frase terkenal dari filosof Teilhard de Chardin, yang aku sitir untuk salah satu dari serangkaian naskah « Catatan Dari Brussel : Bumi Pijakan Kaum Eksil. » Bumi Harapan. Harapan manusia yang ragam macam, dari pembesar dan orang-orang terkenal sampai pada pekerja biasa. Harapan manusia untuk mengatasi segala kesulitan atau ujian demi  menjalani hidup kehidupan yang baik dan lebih baik lagi. Seperti dipertandakan oleh kehadiran Douwes Dekker alias Multatuli – salah seorang dari deretan panjang para pengarang yang tergolong kaum eksilan yang juga menjadi sitoyen atau penduduk kota Brussel. Multatuli dengan novelnya yang terkenal « Max Havelaar » yang disusun rampung di sebuah kamar kecil kafetaria yang letaknya hanya seratusan meter saja dari Grand Place. Multatuli yang melahirkan karya-karya tulisnya dalam derita kekurangan makan dan kedinginan serta terlibat hutang-piutang. Multatuli sang humanis besar yang dijadikan guru oleh Pramoedya Ananta Toer. Dengan inti ajaran bagaimana menjadi manusia, bagaimana memanusiawikan manusia. Multatuli yang juga menjadi nama Akademi Sastra dan Bahasa Indonesia « Multatuli » Jakarta, dimana Pramoedya salah seorang gurunya di samping Bakri Siregar, sedangkan aku sendiri sebagai salah seorang muridnya.

 

Harapan untuk hidup sebagai manusia yang manusiawi seraya kiprah untuk memanusiawikan manusia itupun memang menjadi harapan sekaligus tujuanku.

 

Dengan tujuan sarat harapan yang jadi pendorong eksistensiku itu pula aku mengambil keputusan untuk hidup, meneruskan hidup kehidupan yang indah dan tak ternilaikan ini – betapapun ragam-macam kesulitan atau ujian yang harus dihadapi. Termasuk ujian yang sudah dan sedang aku hadapi. Yang aku alami. Berupa rajaman rasa sakit penyakit yang sedang aku derita. Dengan senantiasa mengayomi impian,  cita-cita sekalian cinta yang terwujudkan dengan daya upaya tanpa kenal henti.

 

« Aku jadi tambah yakin akan kebenaran kata dan maknanya, bahwa semua yang menuju ke atas bertemu, » bisik hatiku memperkuat pikiranku seraya mengarahkan pandang mataku ke Grand Place dengan gedung Balaikota yang bermenara bak anak panah menembus langit tinggi. Tumpuan hati dan pikiranku yang sarat harapan kuat itu seketika teralihkan oleh teguran seorang lelaki yang didampingi dua juru-rawat perempuan.

 

« Monsieur Kohar, kami cari-cari di kamar dan ruang ngasoh, eh, rupanya berada di sini, » kata lelaki itu, yang ternyata Dokter Dansart.

 

« Maaf, Tuan Dokter, »  ujarku, « saya lagi gunakan waktu senggang untuk kontemplasi pemandangan kota Brussel. Sedikit nostalgia… »

 

« Très bien, » sambut Dokter dengan nada ramah senantiasa. « Bagus sekali. Oke. Kita ke kamar Anda ? Ada info yang patut Anda ketahui. »

 

« Oke. D'accord, » ujarku mengangguk seraya beranjak bersama sang Dokter dan kedua juru-rawat pendampingnya.

 

« Begini, » ujar Dokter Dansart seraya melanjutkan dengan informasi berkenaan dengan serangkaian pemeriksaan medis yang telah dilakukan atas diriku. Hasilnya kini sudah cukup jelas dan memberi jawaban tentang sebab-musabab terjadinya pendarahan yang mengakibatkan anemia. Yakni, karena tumor yang mengidap di bagian kolon. Untuk menghentikan pendarahan, maka harus dikikis. « Anda akan mengalami operasi. »

 

Seketika aku terkejut, jantungku berdebar keras, tarikan nafas seperti menyesak.

 

« Tak usah gelisah, » ujar Dokter, cepat membaca perasaan dan pikiranku dengan menampak wajah, sinar mata dan kening berkerut. « Iya. Tak usah gundah. Kini sudah diketahui sebab-musababnya Anda kekurangan darah itu. Belum terlalu lambat. Apalagi setelah infusi darah, Anda telah memiliki kekuatan kembali dan akan tahan untuk menghadapi operasi nanti. »

 

« Kapan, Dokter ? » tanyaku, dengan nada sama sekali tanpa nada gugatan meski sarat kegelisahan teramat sangat. « Besok ? »

 

« Tidak besok, tapi lusa, » kata Dokter, seraya memberikan saran supaya aku segera menyampaikan berita kepada keluargaku akan diagnosanya. « Beritakan teriring harapan bagi pemulihan kesehatan Anda. »

 

« Oui, Docteur, » ujarku mengamininya, perlahan, berupaya mengikis rasa was-was dan meyakinkan diri dengan menelan seutuhnya ujar kata Dokter itu. Istimewa menerima makna kata harapan yang ditekankan pas di alam perasaan dan pikiranku.*** (28.06.08)

 

Catatan:

Naskah ini cuplikan dari Serangkaian Kisah « Sitoyen Saint-Jean : Antara Hidup Dan Mati » A.Kohar Ibrahim. Berkas naskah yang sebagian awal disusun di klinik/rs St-Jean Brussel. Diterbitkan dalam bentuk buku oleh Penerbit Titik Cahaya Elka, Batam, Kepri 2008-2009.

(Facebook 27 Mai 2011).

 

 

 

__._,_.___

Attachment(s) from abdul kohar ibrahim

1 of 1 Photo(s)

Recent Activity:
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com

-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
.

__,_._,___

+ Add Your Comment

Sponsored by