Advertise Box

[ac-i] Charles Baudelaire: Au Lecteur Kepada Pembaca - Catkas A.Kohar Ibrahim

 

Puisi Perancis-Indonesia

(4)

 

Au Lecteur – Kepada Pembaca Charles Baudelaire

 

 

Catkas : A. Kohar Ibrahim

 

 

SELAIN yang saya sebutkan sebagai salah seorang dari Tiga Pendekar Puisi Perancis, kesamaan lainnya dengan Victor Hugo dan Arthur Rimabud iyalah bahwa Charles Baudelaire (1821-1867), semasa hidupnya pernah jadi kaum eksilan di Brussel

 

Barbey d'Aurevilly, menilai penyair Baudelaire sebagai « Dante d'une époque déchue. » Sedangkan dalam lembaran Sejarah Puisi Perancis, penerbitan buku « Les Fleurs du mal » (1857) dinilai sebagai suatu « texte fondateur d'une nouvelle esthétique ». Teks pembinaan estetika baru. Dan bagaimana Baudelaire dalam memaknai sarana bahasa dan istimewa sekali kata-kata, sang penyair pernah mengutarakan baris kata yang masyhur : « Tu m'as donné ta boue et j'en ai fait de l'or. » Kau berikan aku lumpur maka kan kuubah jadi emas. Baginya sedemikian penting dan bermanfaatnya kata-kata dalam proses penciptaan puisi. Bahwa bahasa puitika bisa berperan dalam transmutasi dunia nyata ; lewat saringan kata-kata, alam dunia yang dalam realitasnya yang paling jelek sekalipun bisa jadi indah – seperti lumpur berubah emas itu !

 

Bagi saya, khusus Kata Pengantar berjudul « Au Lecteur » dari buku « Les Fleurs du mal » itu sendiri, sudah merupakan salah sebuah karya Baudelaire yang monumental.

 

 

Baudelaire :

 

A u  L e c t e u r

 

La sottise, l'erreur, le péché, la lésine,

Occupent nos esprits et travaillent nos corps,

Et nous alimentons nos aimables remords,

Comme les mendiants nourrissent leur vermine.

 

Nos péchés sont têtus, nos repentirs sont lâches ;

Nous nous faisons payer grassement nos aveux,

Et nous rentrons gaiement dans le chemin bourbeux,

Croyant par de vils pleurs laver toutes nos taches.

 

Sur l'oreiller du mal c'est Satan Trismégiste

Qui berce longuement notre esprit enchanté,

Et le riche métal de notre volonté

Et tout vaporisé par ce savant chimiste.

 

C'est le Diable qui tient les fils qui nous remuent !

Aux objets répugnants nous trouvons des appas ;

Chaque jour vers l4enfer nous descendons d'un pas,

Sans horreur, à travers des ténèbres qui puent.

 

Ainsi qu'un débauché pauvre qui baise en mange

Le sein martyrisé d'une antique catin,

Nous volons au passage un plaisir clandestin

Que nous pressons bien fort comme une vielle orange.

 

Serré, fourmillant, comme un million d'helminthes,

Dans nos cerveaux ribote un peuple de Démons,

Et, quand nous respirons, la Mort dans nos poumons

Descend, fleuve invisible, avec de sourdes plaintes.

 

Si le viol, le poison, le poignard, l'incendie,

N'ont pas encore brodé des leurs plaisants dessins

Le canevas banal de nos piteux destins,

C'est que notre âme, hélas ! n'est pas assez hardie.

 

Mais, parmi les chacals, les panthères, les lices,

Les singes, les scorpions, les vautours, les serpents,

Les monstres glapissants, hurlants, grognants, rampants,

Dans la ménagerie infâme de nos vices.

 

Il est un plus laid, plus méchant, plus immonde !

Quoiqu'il ne pousse ni grands gestes ni grands cris,

Il ferait volontiers de la terre un débris

Et dans un bâillement avalerait le monde ;

 

C'est l'Ennui ! – l'œil chargé d'un pleur involontaire,

Il rêve d'échafaudes en fumant son houka

Tu le connais, lecteur, ce monstre délicat,

-- Hypocrite lecteur, - mon semblable, - mon frère !

 

 

Kepada Pembaca

 

Kedunguan, kesalahan, dosa dan kekikiran,

Menghuni jiwa kita dan menggeluti raga kita,

Dan menjadikannya santapan penyesalan halus kita,

Seperti pengemis memberi makan kaum terhina mereka.

Dosa-dosa kita pembandel, ketobatan kita pengecut ;

Kita bayar sendiri dengan mahalnya pengakuan kita,

Dan kita pulang dengan girang di lorong berlumpur

Percaya dengan tangis pura-pura bisa menghapus dosa.

Di telinga keburukan adalah Setan Trismegis

Yang melobang lama lama jiwa senang kita,

Dan logam adi kemauan kita

Dan semua diuapkan oleh ahli kimia ini.

Adalah iblis pemegang talikendali kita!

Pada benda-benda menjijikkan kita temukan daya tarik ;

Tiap hari tiap tapak kita turun ke Neraka,

Tanpa takut melalui kegelapan bau busuk.

Demikian serupa sorang miskin senggama dan makan

Payudara korban dari pelacur tua,

Kita mau sambil lalu kenikmatan selingkuh

Yang kita peras sekeras-kerasnya bak jeruk rapuh.

Berdesakan, berkerumunan, bak sejuta ulat-jahat,

Dalam otak kita gentayangan gerombolan Iblis,

Dan, saat kita menarik nafas, Kematian di ruang jantung,

Turunlah, sungai siluman, dengan gerutu menulikan.

Jika perkosaan, racun, belati, kebakaran,

Belum lagi dihias oleh gambaran mereka yang menyenangkan

Kain setramin biasa nasib kita yang menyedihkan

Hal itu karena jiwa kita, aduhai! Tak cukup tangguh.

Tetapi di antara para serigala, macan tutul, ajing buruan,

Monyet, kalajengking, gagak, ular,

Raksasa melengking-lengking, berteriak-teriak,  merangkak,

Dalam kandang memalukan sifat-sifat buruk kita,

Ada satu yang lebih jelek, lebih jahat, lebih kejam-keji!

Meski ia tak mendorong tindakan kasar pun tidak teriak keras,

Ia hanya menjadikan tanah debu

Dan dengan sekali penguapan kan menelan dunia ;

Itulah Kejenuh-jengkelan! – mata menanggung tangisan terpaksa,

Ia mimpikan panggung tiang-gantungan sembari hisap houka.

Dikau mengenalnya, pembaca, raksasa peka ini,

-- Pembaca munafik, -- se sama ku, -- saudara ku!

 

*

*

Catatan:

Cakas – catatan ringkas – ini pernah disiar beberapa media cetak & online; antara lain dalam esai Tiga Pendekar Puisi Perancis, in Majalah Budaya Duabelas N°2 Th 2006, terbitan Dewan Kesenian Riau Kepulauan.

Biodata A.Kohar Ibrahim: http://16j42.multiply.com/hournal/item/517/

Kumpulan Kumpulan Tulisan: http://16j42.multiply.com/journal/item/494/

 

(Siar ulang Facebook 26 Mai 2011)

*

__._,_.___
Recent Activity:
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com

-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
.

__,_._,___

+ Add Your Comment

Sponsored by