Advertise Box

Universitas Negara "LOMONOSOV"

 
Memoar
(juga sebagai jawaban atas surat
bung Hinu E.Sayono yang baik)
                                           UNIVERSITAS NEGARA "LOMONOSOV"
                                        Moskovsky Gosudarstvennei Universitet (MGU)  
Menamatkan sebuah Universitas, mestinya sebuah kebahagiaan. Tapi untuk saya kebahagiaan itu menjadi terbelah dua karena saya tidak bisa kembali ke negeri sendiri karena peristiwa politik waktu itu di Indonesia. Secara instink saya sudah merasakan bahwa diploma  universitas yang masih hangat di tangan saya akan cuma secarik kertas tidak berharga yang tidak seorangpun berminat untuk melihat dan menghargainya. Dan itu bukan hanya sekedar ramalan. Tapi setengah kebahagiaan yang masih tersisa pada diri saya tentu tidak akan saya buang begitu saja. Secara pribadi saya tidak meraih prestasi gemilang yang gemerlapan, tidak ada yang bisa saya banggakan. Tapi saya bangga karena saya telah belajar di negeri Sosialis pertama dan terbesar di dunia. Saya mengenal ibu kota negeri sosialis yang terkenal di dunia: MOSKOW dan meratainya di sela-sela waktu libur, bolos kuliah, mengenal jalur lalu lintas metro di bawah tanah yang terbesar di dunia dengan puluhan stasiun-stasiun metro yang bagaikan istana indah dan gemerlapan, mengunjungi banyak gedung-gedung opera, konsert, komidi, sirkus dan taman-taman besar yang dipunyai kota Moskow dan bahkan hingga restoran-restorannya yang terknal seperti restauran "BAKU"dan restauran "PEKING"dll. Untuk semua itu saya tidak perlu menjadi seorang milyuner atau anak seorang kaya raya yang bersekolah di Moskow dan cukup sebagai mahasiswa biasa yang berani mengurangi sebagian kegiatan-kegiatan kuliah dan menggunakan waktu tsb untuk mengenal Moskow bersama isinya. Moskow adalah kota dengan kendaraan umum yang paling murah di dunia dari mulai Metro, tram, bus, kereta api, pesawat terbang dll-nya. Dengan bermodal 5 rubel ketika itu (uang saku mahasiswa asing 90 rubel = satu setengah kali lebih besar dari gaji seorang dokter) saya bisa masuk gedung konsert  dan ketika istrirahat bisa beli sandwicht dengan telor kaviar yang paling enak dengan harga 1 rubel (sekarang paling tidak 10 euro).
Selama lima tahun kehidupan mahasiswa saya, saya nikmati sebagian besar untuk mengenal Moskow dan kehidupan kebudayaannya. Kebudayaan sosialis yang sekaligus kebudayaan dunia, kebudayaan manusia. Tapi sayangnya berahir dengan tertutupnya pintu kembali ke tanah air. Dengan bermodal surat dari Kementrian Pendidikan Tinggi  dan Pengajaran(seperti Kementrian PP dan K di Indonesia) saya bersama seorang teman mahasiswa yang baru tamat lainnya memasuki Gedung Universitas Negara Moskow "LOMONOSOV" untuk melanjutkan pelajaran sebagai mahasiswa Post Graduate. Siapa yang tidak mengenal nama Universitas yang paling bergengsi di Uni Soviet waktu itu (paling tidak di Uni Soviet sendiri) dan bahkan di dunia karena kwalitas dan juga besarnya Universitas itu. Kalau tidak salah ingatan saya, gedung tertingginya mencapai 43 tingkat. Wilayah Universitas  bersama isinya hampir menyerupai sebuah kota kecil di dalam kota dan semua yang biasa terdapat di dalam kota ada dalam wilayah Universitas Lomonosov termasuk toko-toko, supermarket dan pasar dll-nya. Setiap orang Rusia akan menyatakan bahwa menjadi mahasiswa dan diterima sebagai mahasiswa di Universitas Lomonosov adalah kebanggaan besar tapi juga luar biasa sukarnya untuk bisa diterima sebagai mahasiswa karena harus melalui penyaringan tangguk rapat diberbagai tingkat dengan ujian-ujian yang harus dilalui  dengan diahiri ujian masuk yang sangat ketat. Namun saya dan seorang teman yang sama Indonesia-nya, tidak perlu menempuh ujian masuk dan melalui penyaringan ketat karena kami mendapat surat rekomendasi dari Kementrian dari sebuah negara sosialis terbesar di dunia.Tapi dekanat dan rektor Universitas Lomonosov berpendapat lain. Setelah membaca surat dari Kementrian Pendidikan Tinggi Soviet itu mereka mengatakan bahwa dalam sejarah Universitas Lomonsov belum pernah ada satu calon mahasiswapun yang diterima tanpa ujian masuk dan semuanya pada umumnya, menurut kata mereka harus mengeluarkan "keringat darah"terlebih dahulu sebelum berkesempatan mengadu untung bisa lulus ujian masuk Universitas mereka. Mendengar jawaban mereka itu serentak kami berdua mengatakan bahwa kamipun bersedia menempuh ujian masuk seperti juga yang dilakukan oleh seluruh calon mahasiswa lainnya. Tapi mereka bilang hal itu tidak boleh mereka izinkan karena surat dari Kementrian adalah perintah dan mereka harus menjalankan perintah itu tanpa sarat. Singkat kata kami diterima tanpa boleh menempuh ujian masuk. Tapi tidak berhenti sampai di situ. Proses penerimaan kami harus melalui berbagai emosi yang tidak enak sebagai dua mahasiswa Post Graduate (orang Rusia menyebutnya mahasiswa aspirant) yang diterima secara terpaksa karena perintah dari atasan mereka. Sikap selanjutnya dari mereka adalah bahwa kami tidak diberi hak menerima sebuah kamar untuk satu orang  sebagai jatah setiap mahasiswa Post Graduate yang tanpa kami pernah dengar alasannya mengapa perbedaan itu diberlakukan terhadap kami (mungkin sebagai jawaban atas keistimewaan yang diberikan oleh Kementrian Pendidikan tinggi kepada kami berdua), tapi hal itu tidak kami persoalkan karena kami masih bisa tinggal di asrama mahasiswa kami yang lama yang satu kamar didiami oleh empat hingga lima mahasiswa). Juga uang saku yang kami terima tetap uang saku sebagai mahasiswa lama yaitu 90 rubel satu bulan sedangkan mahasiswa Post Graduate Universitas Lomonosov menerima 150 rubel satu bulan. Itupun tidak kami persoalkan. Tapi suara-suara yang tidak puas terhadap diterimanya kami di Universitas Lomonosov itu tidak hanya terbatas dari pihak Rusia di Lomonosov, tapi juga di kalangan intern mahasiswa Melayu yang memang sangat rentan dengan rasa iri dengki. Satu kenyataan memang kami diistimewakan tanpa keinginan kami sendiri dan kami tidak pernah menyatakan bahwa kami ingin meneruskan pelajaran apalagi untuk memasuki Universitas Lomonosov dan hanya menjalankan tugas yang diberikan atasan. Tapi itu untuk saya sudah cukup untuk alasan berpisah dengan situasi yang tidak mungkin diselesaikan dengan perdebatan atau saling diam dan saya cepat mengundurkan diri dan enam bulan kemudian saya berangkat  menuju Hanoi-Vietnam setelah saya berkenalan dengan mahasiswa-mahasiswa Vietnam yang belajar di Lomonosov (di Universiatas Lomonosov, para mahasiswa asing pada umumnya berasal dari negara-negara kapitalis Barat maupun sebagian kecil, juga dari negeri-negeri sosialis). Universitas megah dan bergengsi itu saya tinggalkan secara sukarela meskipun  dengan emosi sentimentil yang cukup menyengat (merasa direndahkan karena dianggap mahasiswa karbitan) .Saya kemudian diterima di Universitas negara Hanoi dan mempelajari bahasa Vietnam selama tiga tahun di sana sejak tahun 1970 dan baru pada tahun 1978 barulah menempuh dan mempertahankan disertasi saya. Semua prosedur dan ketentuan-ketentuan Universitas saya lakukan tanpa menerima keistimewaan apapun hingga saya merasa tidak punya hutang keistimewaan apapun. Hanya saja kehidupan kemahasiswaan saya jadi berlangsung selama 15 tahun jika dihitung sejak di Indonesia dulu dengan hasil menjadi manusia buangan seumur hidup. Tapi kehidupan kemahasiswaan saya yang singkat selama di Universitas Lomonosov masih tetap meninggalkan kesan terutama pergaulan saya dengan beberapa mahasiswa Vietnam yang diantaranya ada yang pernah mengatakan pada saya: "Belajarlah di Vietnam, kami sedang perang, di sana hanya ada dua macam ujian: lulus berarti bebas, tidak lulus berarti mati". Setelah saya belajar di Vietnam saya tidak tahu apakah saya lulus atau tidak jika menurut teman Vietnam saya yang  se universitas dulu itu. Tapi yang terang saya masih hidup hingga detik ini dan memang bebas dari kejaran suharto dan tidak pernah nginap di Pulau Buru maupun di Cipinang atau Nusa Kambangan. Selebihnya ujian-ujian hidup masih antri di depan mata meskipun sudah tanpa surat bebas ujian dari Kementrian Pendidikan Tinggi Uni Soviet.

ASAHAN.
Hoofddorp, 15 Mei 2011

+ Add Your Comment

Sponsored by