Advertise Box

PRAM

 
 PRAM
Pramoediya Ananta Toer (1925 - 2006) saya lihat sosoknya yang pertama kali  kalau tidak salah di tahun 1954 di Gedung Pertemuan Umum - Jakarta yang sedang menyelenggarakan Pekan Buku. Ketika itu saya bersama Sobron yang juga turut "menjaga"  bukunya yang dipamerkan yang juga berjejer dengan buku-buku Pram. Juga Ajip Rosidi yang  saya kenal karena pernah satu sekolah di Taman Siswa tampak dalam pameran Pekan Buku waktu itu. Yang menarik untuk saya pada waktu itu adalah Pram dan Sobron baru berkenalan dengan dua orang gadis dua beradik yang bernama Maimunah Thamrin yang turut sebagai "penjaga"buku yang selanjutnya Maimunah menjadi istri Pram sedangkan adik Maimunah hanya pernah jadi pacar Sobron. Kedua adik beradik ini  memang cantik dan pengalaman-pengalaman romantik mereka saya ketahui dari cerita-cerita Sobron selama masa berpacaran mereka.
Selamjutnya Pram kadang-kadang saya lihat di jalan Cidurian 19 sebagai pusat pertemuan orang-orang Lekra yang itupun setiap saya diajak Sobron ke sana yang juga di sanalah saya bertemu dengan Agam Wispi dan Benny Tjung. Saya sendiri tidak pernah masuk Lekra meskipun waktu itu saya telah mulai mengirimkan puisi-puisi saya ke beberapa majalah. Pertemuan saya yang terahir dengan Pram adalah di tahun 1999 di rumah penyair Mawie Ananta Jomie di mana Pram kami minta mengadakan ceramah atau ngobrol sesama para sastrawan Indonesia yang menjadi eksil di Belanda maupun di Eropah lainnya. Pram ketika itu dalam perjalanan pulang dari beberapa negara seperti Amerika yang mengundangnya dan kemudian mampir ke Belanda. Di sinilah saya pertama kali berdialog dengan Pram secara langsung ketika usia saya sudah cukup lanjut.
"Kasihan si Pram itu, dia itu sombong nggak punya teman". Begitulah yang pernah dikatakan oleh Ajip Rosidi tentang Pram kepada saya jauh sebelumnya. Ajip memang tidak pernah punya hubungan yang mesra dengan Pram meskipun dia membantah kalau saya katakan Pram itu musuhnya Ajip yang selalu dia jawab"Siapa bilang Pram musuh saya" walaupun ia hampir selalu negatif bila bicara tentag Pram.Tapi saya punya kesan lain tentang Pram. Mungkin Ajip punya sedikit kebenaran. Pram memang tampak kurang komunikatif terhadap lawan bicaranya atau teman-temannya dan nampaknya, itu adalah sifat dia. Tapi bila dia sudah bicara, akan cepat terasa antusiasme dan kehangatannya terhadap teman bicaranya. Tapi jangan diharap dari Pram pertanyaan-pertanyaanya bagaimana kabar atau segala sesuatu mengenai pribadi lawan bicaranya. Diplomasi  atau sopan santun keakraban demikian tidak akan keluar dari Pram.Tapi di situ pula tampak salah satu kepribadian Pram yang terasa jujur, tidak suka basa basi, formalitas banal yang dia anggap semua itu hanya membuang-buang waktu dan dibikin bikin. Mungkin dari ciri-ciri Pram yang demikian yang membuat Ajip punya kesan Pram itu sombong dan tidak punya teman. Padahal sesungguhnya Ajip sendiripun sedikit banyak punya sifat-sifat dan pembawaan seperti Pram itu hanya saja dia merasa banyak teman dan sesungguhnya juga Ajip sendiri tidak kurang sombongnya dari kesombongan yang dia tuduhkan pada Pram. Tapi juga Ajip cukup sering mengatakan kepada saya bahwa dia menyokong Pram agar meraih hadiah Nobel dan ketika saya tanyakan padanya mengapa, Ajip menjawab Pram itukan milik Indonesia terlepas saya suka atau tidak suka. Dan bukan hanya Ajip yang menyokong Pram tapi juga Prof. Dr. A. Teeuw menyatakan dukungannya agar Pram memenangkan hadiah Nobel  yang dalam pada itu, di masa lalu antara Pak Teeuw dan Pram pernah terjadi perdebatan sengit meskipun  pada ahirnya Pak Teeuw menulis buku tentang Pram dan memberikan sikap pernilaiannya yang tinggi terhadaap karya-karya Pram. Tapi dalam kenyataan, Pram tidak meraih hadial Nobel hingga ahir hayatnya yang banyak sekali orang-orang menyayangkannya. Pram yang dinominasi beberapa kali sebagai calon penerima hadiah Nobel ahirnya cuma hampir-hampir dapat yang diahiri tidak dapat. Mengapa?. Semua orang bisa menjawabnya dengan bermacam variasi dan perbedaan. Tapi kita tahu Komite Nobel adalah  kepunyaan orang Barat, orang Eropah yang punya cara penilaiannya sendiri tentang mutu sastra yang mereka aggap pantas menerima hadiah Nobel. Salah satu kriterium mereke adalah sifat universil dari karya sastra yang itu kadang -kadang menentukan. Kalau kita membaca karya-karya Pram, barangkali hanya Pramlah di antara sastrawan Indonesia yang paling tipis muatan nasionalismenya terutama nasionalisme Jawa. Untuk itu memang Pram sedar dan membatasi diri dengan Jawa centris maupun Indonesia centris dalam karya-karyanya. Pram tidak terlalu asik dengan para tokoh-tokoh dalam dunia perwayangan ataupun mengisahkan adat istiadat etnisnya hingga puluhan lembar atau memasukkan ratusan kata-kata bahasa Jawa dalam tulisannya. Tapi Pram berbuat begitu bukanlah karena dia bersiap-siap untuk mendapatkan perhatian dari orang-orang Komite Nobel. Dan agaknya usaha Pram yang sudah maksimum itu belunn cukup optimal bagi orang-orang Komite Nobel. Apakah universalisme dalam karya-karya Pram belum benar-benar berdominasi?. Tentang itu mungkin agak sukar menjawabnya. Nilai-nilai universil dalam sastra tidak selalu mudah dijejelkan begitu saja. Setiap sastrawan terikat dengan tanah berpijak mereka dan menuliskan kisah-kisah tentang manusia, bunmi dan masyarakat di mana mereka bertanah air. Jadi sudah tentu jawabannya bukanlah "sastra tidak bertanah air" untuk mendapatkan nilai-nilai universil secara optima forma. Sastra tetap saja bertanah air meskipun  para sastrawannya mungkin sudah kehilangan tanah air mereka oleh berbagai sebab. "Sastra yang tidak bertanah air"akan mengambang di udara, tidak punya tanah pijakan dan melambung ke abstrakisme semata yang akan menjemukan dan bukan itu yang dimaksudkan orang-orang dari Komite Nobel. Tapi warna nasionalisme yang tebal dalam sastra, juga tidak mendapat tempat  untuk nominasi hadiah Nobel.
Ketika dalam suatu pertemuan sastra yang diorganisasi oleh PASAR MALAM PARIS, seorang pengunjung bertanya kepada saya yang sedang duduk di podium, katanya: "Kalian sudah tidak tinggal di Indonesia, sudah terpisah dengan masyarakat Indonesia begiti lama, apa yang kalian bisa tulis tentang Indonesia?".Sebuah pertanyaan agressif tapi juga menarik dan  pertanyaan itu saya jawab dekikian: "Karena kami menganggap Indonesia adalah tanah air kami atau paling tidak, pernah menjadi tanah air kami, karenanya sastra yang kami tulis adalah sastra yang bertanah air dan hubungan kami dengannya tidak terputus meskipun terpisah secara fisik".Tapi harus diakui untuk menguniversilkan sastra yang bertanah air menjadi milik kermanusian ,  adalah sangat tidak mudah karema itu menyangkut puncak tertinggi pemikiran manusia, pengamatannya terhadap kehidupan sekelilingnya, dan juga motivasinya, penganalisaannya, ideologinya , pandangan politik dan filsafatnya yang kembali akan dicerna  oleh para pembaca mereka dalam karya-karya yang mereka tulis. Dan bila hal itu tercapai dan berhasil maka para pembaca akan merasa, ah, ini masaalah kita bersama, kisah-kisah kita bersama yang mudah kita kenali meskipun dikisahkan secara berbeda dan di tempat yang berlainan dan oleh bangsa yang berlainan.
Pram sangat banyak menulis tentang pengalamannya, memoarnya selama hidup sebagai tahanan politik suharto di Pulau Buru. Tapi Pram tidak pernah menghasilkan sebuah novel-pun tentang Pulau Buru, sebuah pulau  dengan isi para tahanan politik yang sangat dikenalnya selama belasan tahun . Kita lalu boleh bertanya : mengapa? , Bahkan pertanyaan demikian pernah diajukan oleh seorang kader tua wanita yang cukup terkenal Franciska Fanggidae dalam sebuah pertemuan sastra di Almere-Belanda: "Mengapa bung tidak menulis roman pulau Buru?". Seingat saya jawaban Pram kira-kira sama dengan jawaban  atau reaksinya terhadap permintaan maaf Gus Dur yang dibilanng Pram secara spontan: "Mudahnya meminta maaf" yang membikin iritasi untuk Goenawan Mohamad. Dan jawaban Pram di Almere, juga hampir sama dengan yang diberikannya pada Gus Dur. Katanya: "Mudahnya mengharapkan membikin roman". Dalam banyak hal Pram sering melemparkan kejujuran dan spontanitasnya. Memang tidak mudah membikin roman dan Pram bukanlah master fiksi meskipun karya-karya non fiksinya mempunyai nilai master besar, master dunia yang itu tidak bisa diragukan. Pram memang menulis karya besar roman sejarah, namun roman sejarah tetap saja tidak temasuk roman fiktif meskipun dalam roman sejarah bisa kemasukan elemen-elemen fiktif yang bahkan hingga cukup berdominasi tapi sebagai salah satu jenis roman, roman sejarah tetap saja bukan roman yang biasa. Dalam roman biasa atau roman fiktif, nilai sastra adalah sebagai komponen terpenting yang harus dipunyainya.
ASAHAN.
Hoofddorp-Belanda 18 Mei 2011.

+ Add Your Comment

Sponsored by