Advertise Box

[ac-i] DUNIA YANG PENUH SIKSAAN

 

ASAHAN:
 
                DUNIA YANG PENUH SIKSAAN
 
Di usia remaja saya juga membaca cerita "Mengelilingi dunia dalam 80 hari"yang penuh  petualangan dengan cerita cerita yang menarik, tapi yang lebih menarik lagi adalah kerepotan si pengeliling dunia yang sambil merebut waktu dan harus menghadapi penuh tantangan dan berbagai macam teka-teki yang harus dijawab benar atau salah.
Di usia senja ketika  saya harus mengadakan perjalanan dari Amsterdam ke Paris yang hanya memakan waktu kurang lebih 40 menit dengan pesawat udara moderen (Boeing 737), kerepotan yang saya rasakan lebih banyak dari pada mengelilingi dunia dalam 80 hari di abad 19. Begitu tiba di bandara Schiphol yang saya tempuh hanya 8 menit dengan bis umum dari rumah saya, saya cepat disalami dengan kerepotan pertama: meng-scan ticket electronic saya ke mesin komputer yang sudah tersedia di ruang terminal. Setiap hari saya biasa memperkosa komputer saya di rumah tanpa  disaksikan orang lain. Tapi sekarang saya harus sendiri memperkosanya di  tengah khalayak ramai dan setiap gagal pada langkah berikutnya, sang komputer seolah berteriak keras di  tengah khalayak ramai disekitarnya: kamu goblok!, kampungan!, gatek!, dasar tua bangka!.  Saya cepat menyerah dengan ticket yang belum sah  ter-scan dan lalu berpaling ke seorang gadis muda ground stewardess dan minta tolong padanya. Sang stewardess dengan setengah ramah setengah sombong mengatakan: "masak begini saja tidak bisa" lalu dia menjelaskan apa yang harus saya lakukan  yang masih terasa cukup ramah tapi setelah saya bertanya  yang pertanyaan saya itu dianggapnya bodoh , nadanya  mulai meningkat satu derajat dan saya harus cepat-cepat pura-pura mengerti sebelum keramahannya yang telah mulai tereduksi akan lebih menurun lagi. Dan dengan beberapa langkah tekan sana tekan  sini  yang dilakaukan sendiri, ticket electronic saya keluar dengan terhormat dan sah dari mesin komputer otomatik dan saya harus bergegas ke tempat penyetoran bagasi dan setelah seremoni  timbang barang dan pasang etiket, saya harus kembali lari-lari anjing menuju ke tempat pemeriksaan barang . Bandara Schiphol begitu luas, begitu ramai, begitu sibuk seperti juga bandarabandara  Internasional lainnya di dunia, di sini antara milyuner dan sya tidak banyak bedanya: lari-lari anjing sambil menyeret kofer trolley menuju ke tempat pemeriksaan barang dan di sinilah mulai dihidupkan kembali zaman perbudakan: semua penumpang di-Pariakan. Semua kantong dikosongkan dan isinya diserahkan kepada petugas untuk diperiksa. Sepatu harus dibuka, ikat pingang harus dilepas, dompet harus dibuka, semua barang-barang dari metal juga harus dielepas termasuk arloji, kunci-kunci, cincin, gelang, kerabu dsb. Mantel atau jaket juga harus dilepas dan ditumpuk bersama sepatu pada ban berjalan untuk di scan dan bila  tanpa problem, kembali benda-benda itu dikembalikan pada sang pemiliknya  yang semua itu membuat iritasi dan juga membuang energi yang tidak menyenangkan. Semua prosedur pada ketika berangkat harus diulangi kembali ketika telah tiba di tempat tujuan. Barangkali hanya seorang yang dalam perjalanan untuk menerima hadiah Nobel di Swedia, semua kerepotan dan penghinaan wajib itu bisa sedikit terobati kekesalannya.Tapi itu belum semuanya. Dalam pesawat udara yang besar dan moderen, berbaris kursi-kursi penumpang yang bejejer rapat seperti sarang tawon dan tidak seorangpun yang bisa mengunjurkan kaki dengan leluasa atau menyandarkan badan tanpa mengurangi keleluasaan penumpang lain yang berada di belakangnya,  atau bangkit dan berdiri untuk ke WC dengan gerak normal dan selalu menuntut rasa toleran dalam dunia yang serba sempit yang hampir berhimpit-himpit selama penerbangan berlangsung. Setiap penumpang tampak seperti pertapa, seperti sedang bersemadi, seperti bertafakur, seperti bermeditasi, seperti sedang berdoa agar pesawat selamat tidak jatuh atau meledak di udara atau hancur ketika lepas landas atau mendarat.
 
      Pertama kali saya mengadakan perjalanan dengan pesawat udara adalah pada tahun 1950 di bulan Agustus dari Tanjung Pandan menuju Jakarta bersama kedua orang tua saya. Kebahagian  ketika itu masih saya rasakan hingga sekarang. Dengan pesawat GIA, Dakota, yang penumpangnya hanya beberapa puluh orang, terasa leluasa  duduk di kursi yang cukup lebar dan dalam pesawat tercium bau harum dengan seorang Stewardess yang muda dan ramah. Penerbangan yang hanya berlangsung satu setengah jam tapi mendapat hidangan nasi goreng yang sama enaknya dengan nasi goreng restaurant dengan sebuah apel dan menjelang sampai masih dapat hidangan ringan dan secangkir kopi yang lezat. Setibanya di bandara Kemayoran Jakarta dan keluar dari pesawat, rasanya seperti keluar dari restauran dengan perut kenyang menyongsong ibu kota yang ketika itu saya rasakan seperti akan penuh menjannjikan . Perjalanan demikian selalu saya ulangi setiap tahun ketika pulang berlibur dari Jakarta hingga tahun 1961 menjelang keberangkatan saya ke Moskow. Sungguh sebuah rentetan perjalanan dengan pesawat udara yang selalu menyenangkan dan ada kalanya juga GIA menggunakan  pesawat Catalina yang lebih menyenangkan lagi karena setiap cabinnya hanya terdiri dari empat penumpang saja dengan ruang yang lebih luas lagi. Itu masa lalu, sekarang dunia telah banyak berubah tapi sayangnya tidak setiap perubahan adalah lebih baik, lebih menyenangkan, lebih mudah dan lebih nyaman. Siksaan jaman moderen ketika itu masih belum sangat terasa.
     Perkenalan pertama saya dengan dunia moderen adalah ketika saya belajar di Moskow. Cukup banyak orang menganggap bahwa Moskow dibandingkan dengan kota-kota lain di Eropah dan Amerika masih belum apa-apa. Tentu saja perbandingan demikian relatif saja. Ketika itu saya masih belum mengenal kota-kota di Eropah. Tapi naluri saya mengatakan, dalam soal apa kota-kota di Eropah bisa dikatakan lebih moderen dari Moskow dan juga sebaliknya. Soal vulpen? . Moskow memang belum memproduksi "Parker" yang punya kwalitas milyuner tapi mereka telah sanggup menerbangkan Gagarin ke ruang angkasa luar yang belum mampu dilakukan oleh Eropah dan Amerika. Di tahun 50 di Jakarta telah dijual "Parker 51" yang dianggap paling moderen dan paling mahal ketika itu. Sedangkan Moskow, mereka berhasil memproduksi jam tangan yang paling tipis di dunia meskipun fototustel (camera) mereka  beratnya bukan main namun juga dengan lensa yang terbaik di dunia meskipun mekanismenya sering bikin film robek ketika diputar. Sebutkanlah bermacam perbandingan  hasil hasil produksi materi antara dua dunia tsb, semuanya akan relatif saja.
 
Moderen adalah gejala sementara yang akan selalu diikuti dengan moderen tahap selanjutnya. Tapi kerepotan dan penderitaan manusia  lebih lama bertahan meskipun bentuknya bisa saja berlainan. Rasa sakit itu sama: ditusuk dengan jarum atau digigit semut. Jan Wong seorang pengarang wanita dan jurnalist  berkebangsaan Canada dari dua orang tua mereka yang ber-etnis Tionghoa yang juga lahir di Canada dan seorang restaurateur kaya raya tidak membuat Jan Wong bahagia di tengah kekayaan orang tuanya dan sejak usia muda dia telah menjadi seorang "Maoist" dan pada usianya yang 19 di tahun 1972 dia memutuskan untuk pergi ke Peking dengan tujuan untuk "mengubah pandangan dunianya" dengan cara melakukan kerja badan yang berat untuk belajar menderita untuk menjadi seorang Maoist sejati dan menggabungkan diri dalam Revolusi Besar Kebudayaan Proletar( RBKP) dan juga menjadi anggota Garda Merah. Tapi sudah sejak ia pertama menginjakkan kaki di buni Tiongkok, ia selalu mengeluh,  dan mencela semua saja yang bernama dan bersifat revolusi. Ia membantah, mengejek dan sinisme terhadap semua ajaran Mao Ze Dong dan anti Komunis dari rambut hingga ujung kakinya dan semua itu dapat dibaca dalam buku yang ditulisnya "RED CHINA BLUES - My Long March From Mao to Now". Tapi dalam soal penderitaan dan kerepotan, Jan Wong tidak main-main dan benar-benar bergelut dengan penderitaan rakyat Tiongkok dengan bersama tinggal dan bekerja di kalangan tani dan buruh Tiongkok dalam masa RBKP hingga ahir RBKP. Suatu hari dia diundang makan oleh seorang buruh pabrik di mana dia juga bekerja. Sekretaris Partai menasihatinya agar dia makan kenyang dulu di rumah sebelum datang memenuhi undangan temannya karena katanya dia tidak akan mendapat hidangan apa-apa selama bertamu ke rumah buruh Tiongkok yang miskin. Nasihat itu dituruti oleh Jan Wong karena dia sangat mengerti dan sangat kenal kemiskinan rakyat Tiongkok yang dia saksikan dari dekat. Tapi apa yang dia ramalkan ternyata meleset. Si buruh miskin yang menjamunya  bukan  dengan meja kosong tapi berlimpah makanan hingga Jan Wong sudah tidak mungkin mengisi mangkuk makannya lebih banyak. Dia sampai pada kesimpulan bahwa miskin dan penderitaanpun adalah juga relatif .
 
Ketika saya memutuskan untuk berangkat ke Vietnam dari Moskow pada ahir tahun 1966 adalah juga dengan tujuan"belajar menderita" untuk mengubah pandangan hidup borjuasi yang masih saya miliki. Vietnam yang selalu miskin dan pula dalam keadaan perang waktu itu, dengan mudah dan cepat saya saksikan  penderitaan dan kerepotan mereka. Saya juga menulis sebuah buku tentang pengalaman hidup menderita saya di Vietnam. Bedanya dengan Jan Wong saya tidak mengutuk Sosialisme dan tidak anti Komunis tapi memang saya menuliskan kekurangan dan kelemahan serius yang masih terdapat dalam masyarakat  sosialisme, apalagi di Vietnam. Saya lebih lama merasakan dan menyaksikan penderitaan dan kerepotan rakyat Vietnam dari pada Jan Wong menyaksikan penderitaan rakyat Tiongkok. Saya berada di Vietnam hampir dua puluh tahun dan menyaksikan perang Vietnam melawan agresi Amerika Serikat dari awal hingga ahir. Saya menyaksikan rakyat Vietnam yang hanya mendapat jatah tiga ratus gram daging untuk satu tahun yang itupun  cuma sering-sering berupa kertas tidak berharga karena daging tidak ada. Tapi setiap sebuah peluru kendali yang ditembakkan Vietnam ke sasaran pesawat Amerika yang menyerang,  rakyat Vietnam harus membayarnya dengan 14 ribu (14.000) ekor babi kepada sahabat besarnya di Moskow dan dalam kenyataan tidak sedikit keluarga-keluarga Vietnam yang memelihara babi di rumahnya tanpa hampir tidak pernah memakan daging babi piaraannya sendiri. Kemiskinan  dan penderitaan, juga adalah relatif.
 
Indonesia, juga adalah Universitas terbesar untuk belajar menderita dan menikmati kemiskinan. Salah satu cabang Univesrsitas Penderitaan itu adalah "Universitas Pulau Buru". Para alumnis Universitas Pulau Buru telah cukup banyak menuliskan penderitaan mereka selama belajar di Alma Mater mereka di sana. Tapi satu kenyataan,  yang ahirnya "bebas" keluar dari Pulau Buru,  jumlahnya lebih banyak dari yang mati menderita di sana dan bahkan tidak sedikit dari alumnis mereka yang masih hidup yang sudah di atas umur 80 dan ada yang mencapai lebih dari 90 tahun usia! Ternyata di dunia ini juga berlaku: panjang siksaan panjang umur, di tengah kemiskina terselip kemakmuran, di tengah kenyamanan bersembuyi siksaan. Tapi inti dan makna kehidupan sesungguhnya adalah siksaan yang dilakukan manusia atas manusia dan atas dirinya sendiri. Barangkali ada benarnya apa yang pernah dikatkaan oleh Guy de Maupassant bahwa: "tidak ada penderitaan yang sungguh-sungguh derita seperti juga tidak ada kebahagiaan yang  yang benar-benar bahagia".
ASAHAN.
 
 
 
 
 
 
 
 
  
 
 

__._,_.___
Recent Activity:
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com

-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
.

__,_._,___

+ Add Your Comment

Sponsored by