Advertise Box

[INDONESIA-Geographic] Tanah Air : Ada Kemegahan di Gunung Kidul

 

Tanah Air  : Ada Kemegahan di Gunung Kidul
Kompas, 3 Juli 2011

Kompas/Fergananta Indra Riatmoko
Jalur Kuda Laut di sebuah tebing di Pantai Siung, Kecamatan Tepus, Gunung Kidul, DI Yogyakarta, merupakan salah satu area panjat tebing andalan Gunung Kidul.

Sepuluh tahun lalu, di sebuah bak penampung air yang kering kerontang, terpampang tulisan besar-besar: ... Air… Air… Air.... Meskipun hanya satu kata yang dituliskan tiga kali berjajar, maknanya memang bukan lagi sebuah kata. Itu lebih merupakan kalimat puitis yang merefleksikan rintihan, jeritan, sekaligus ketidakberdayaan masyarakat untuk mendapatkan air bersih.

Itu memang kondisi Gunung Kidul, Provinsi DI Yogyakarta, 10 tahun lalu. Khususnya di wilayah selatan, air merupakan problem tahunan yang seperti tak berkesudahan. Kenyataan ini membuat Gunung Kidul dalam kondisi yang memprihatinkan. Boleh dibilang air yang diminum orang Gunung Kidul setiap hari memang tak layak. Sebagian warga menderita kekeringan dan mengandalkan air keruh telaga, satu-satunya yang tersedia.

Kekeringan tidak hanya sebatas air minum, tetapi juga hijauan ternak untuk hewan-hewan peliharaan mereka. Pada saat kemarau, harga air dan makanan ibarat emas diukur dari daya beli masyarakat Gunung Kidul umumnya. Perjalanan jauh untuk mencari air dan hijauan ternak selalu mereka katakan, "Sudah biasa," karena memang belum ada solusi.

Saat ini, meski berkurang jauh, kekeringan belum juga tuntas teratasi. Pembangunan proyek pompa air besar, seperti di Goa Bribin dan di Ngobaran, serta proyek-proyek air bersih lainnya dalam skala kecil, belum mampu melepaskan Gunung Kidul dari jerat kekeringan.

Menurut Kepala Seksi Bantuan dan Jaminan Sosial, Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Gunung Kidul, Irfan Ratnadi, kekeringan masih merata di 15 kecamatan meski jumlah daerah yang terlanda kekeringan menurun. Tahun ini dibutuhkan suplai air bersih 2.470 mobil tangki untuk warga di 15 kecamatan itu.

Banyak orang mendramatisasi. Kekeringan yang terus-menerus inilah yang kemudian membuat munculnya sinisme bagi orang Gunung Kidul. Tak pernah mandi, minum air tadah hujan, dan mandi bersama sapi di telaga adalah referensi banyak orang tentang Gunung Kidul. Bahkan lebih ekstrem ada anggapan, Gunung Kidul daerah tertinggal.

Padahal, realitas Gunung Kidul punya kemegahan, martabat yang bisa dibanggakan. Laksana mutiara yang tak pernah terangkat dari dasar lautan.

Memasuki daerah Gunung Kidul dari ibu kota DI Yogyakarta, jalanan mulus beraspal. Bahkan Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul membuat jalan terobosan—jalan yang semula berbukit-bukit dengan tanjakan tajam diubah jadi jalan datar dan lebih singkat jaraknya. Ini menyiratkan betapa Gunung Kidul berusaha keras membuka akses bagi masyarakat luas.

Tak banyak orang tahu bahwa Gunung Kidul kaya akan potensi khususnya di bidang pariwisata yang unik, eksotis, murah, dan berpeluang merebut perhatian dunia internasional.

Apa saja ada. Wisata laut, goa, budaya dan sejarah, dan wisata khusus panjat tebing yang menantang karena kondisi alamnya memang berbukit-bukit.

Kompas/Ferganata Indra Riatmoko
Potensi Alam Gunungkidul - Pemanjat tebing memasuki gua vertikal Luweng Cokro yang memiliki kedalaman sekitar 35 meter dari permukaan tanah di Dusun Blimbing, Desa Umbulrejo, Ponjong, Gunung Kidul, DI Yogyakarta, Selasa (21/6).

Dalam khazanah sejarah tidak banyak orang tahu bahwa Gunung Kidul merupakan wilayah kehidupan manusia purba yang hidup pada 40.000 tahun silam. Hampir pada setiap goa di Gunung Kidul yang berjumlah 119 buah ditemukan banyak peralatan manusia purba, seperti senjata dan alat rumah tangga dari bahan batu dan tulang. Arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Hari Truman Simanjuntak, pernah menyatakan, Gunung Kidul merupakan real estate-nya manusia purba.

Hasil penelitian yang disimpan di Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala DI Yogyakarta menunjukkan, di Goa Song Bentar ditemukan spesies manusia purba Homo sapiens. Spektakuler karena di dalam goa itu ditemukan delapan individu terdiri dari lima orang dewasa, dua anak-anak, dan seorang bayi. Sayangnya, wisata sejarah ini belum tergarap. Padahal, sebagai potensi kehidupan purba, penemuan itu bisa dibuat diorama- diorama, penggambaran manusia pada 40.000 tahun lalu itu.

Pemkab Gunung Kidul memang telah menghidupkan wisata goa, tetapi sebatas pada keindahan stalaktit dan stalagmit dan keunikan goa yang umumnya memiliki sungai bawah tanah. Lebih dari 10 goa di sana bisa disusuri wisatawan.

Goa Pindul yang terletak di Dusun Gelaran I, Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo, misalnya. Setelah memasuki goa sepanjang 400 meter itu, pengunjung akan menemukan sungai bawah tanah yang bisa diarungi alat pelampung atau ban bekas. "Dengan terapung-apung di air, pengunjung bisa menyusuri goa melihat keindahan goa," kata Suratmin, salah satu pengelola Goa Pindul. Banyak wisatawan domestik dan mancanegara mengunjungi goa ini.

Minimal ada 11 pantai yang bisa dikunjungi wisatawan di Gunung Kidul, yaitu Pantai Baron, Krakal, Kukup, Sepanjang, Drini, Sundak, Ngandong, Siung, Wediombo, Sadeng, dan Ngrenehan. Keberadaan pantai itu memiliki keunikan dan keindahan tersendiri. Upacara tradisi seperti sedekah laut yang hampir selalu dilakukan masyarakat di seputaran pantai merupakan nuansa tersendiri bagi wisatawan.

Pantai Baron boleh dikata sebagai pintu masuk wisata pantai. Pantai ini dikelilingi bukit kapur, dan di atasnya ada jalan setapak tempat melihat keindahan pantai. Di sebelah barat pantai ada muara sungai air bawah tanah (air tawar) yang mengalir ke laut sehingga di situ ada suatu tempat pertemuan antara air tawar dan air laut.

Di Pantai Siung ada 250 bukit yang memiliki jalur pendakian yang bisa digunakan untuk wisata khusus panjat tebing. "Orang-orang dari sejumlah negara pernah datang melakukan pemanjatan di tempat ini. Bahkan kami pernah mengadakan Asian Climbing Gathering, dan hampir semua pencinta alam di negara Asia hadir," kata Agus Broto Sugandhi (43), Sekretaris Panjat Tebing Gunung Kidul.

Bukan pemerintah yang memperkenalkan jalur pendakian tebing di Gunung Kidul ini, melainkan para pencinta alam yang mencari dana pembuatan jalur pendakian, dan segala peralatannya. Mereka mempromosikannya ke dunia internasional. Gunung Kidul memang kelimpahan berkah dengan alamnya. Penggarapannya yang belum profesional.

Oleh A Budi Kurniawan dan Thomas Pudjo Widyanto

__._,_.___
Recent Activity:
____________________________________________________________________________
Facebook:http://www.facebook.com/group.php?gid=48445356623
Multiply: http://IndonesiaGeographic.multiply.com
Multiply: http://GeographicIndonesia.multiply.com
____________________________________________________________________________
Hapus bagian yang tidak perlu untuk menghemat bandwidth. Sisakan 1 atau 2 thread agar tidak membingungkan yang lain.
Apabila topik pembicaraan berubah, usahakan Subject juga diubah sesuai topik
----------------------------------------------------------------------------
.

__,_._,___

+ Add Your Comment

Sponsored by