Advertise Box

[ KHI ] Bangsa Yang Belum memerdekakan diri

 

Bangsa Yang Belum memerdekakan diri

Hampir dua abad lalu Johannes van Den Bosch, penggagas kulturstelsel yang menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1830-1833), mencetuskan cara menguasai negeri ini.
 
Resepnya, jangan kuasai secara langsung, cukup pegang penguasanya. Nanti penguasa itulah yang bekerja untuk asing. Selanjutnya, rakyat digiring bekerja sesuai dengan kehendak penguasa. Demikian dalam Two Colonial Empires suntingan CA Bayly and DHA Kolf (1986).
 
Jalan pikiran Van Den Bosch terasa bergema ketika saya membaca laporan Kompas 23-27 Mei, yang berturut-turut memberitakan dominasi asing di sejumlah sektor ekonomi, mulai perbankan, pertambangan, energi,  telekomunikasi, hingga perkebunan.   
 
Sejak dulu kekayaan yang terhampar di Kepulauan Nusantara menjadi incaran kaum pemodal asing sehingga bangsa ini seharusnya memiliki posisi tawar besar dalam urusan investasi. Namun, sejak 1967 modal asing masuk tanpa pembangunan politik-ekonomi yang menjamin kedaulatan bangsa dan kehidupan rakyat di dalamnya.
 
Kini usaha memaksimalkan investasi asing semakin tidak memperlihatkan lagi kemauan elite politik untuk menyeleksi cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Negeri ini terus terjerat sebagai sumber eksploitasi kekayaan alam, pemasok tenaga murah, dan target pasar.  
 
Hilangnya kelas menengah
 
Dalam pidato kebudayaan berjudul "Arti Penting Sejarah" di Jakarta, 14 Juli 1999, Pramoedya Ananta Toer menjelaskan kehadiran VOC yang menguasai perdagangan di Nusantara secara bertahap sejak abad ke-17. Implikasi penguasaan VOC adalah dimusnahkannya kelas menengah. Pada waktu itu kelas menengah terdiri dari pemilik kapal serta pedagang antar pulau dan internasional. Karena VOC merupakan organisasi pedagang yang mencari hasil bumi, kelas menengah menjadi saingannya.
 
Hilangnya kelas menengah menjadi tempat yang subur bagi perkembangan kebudayaan feodal yang aristokratis dan berat sebelah, terdiri dari tuan dan hamba. Tradisi kebangsawan makin jauh berkembang, sedangkan tradisi ekonomi hampir hilang semuanya.
 
Pada zaman Majapahit tradisi kebangsawan masih diimbangi oleh tradisi perdagangan yang membawa nilai-nilai egaliter. Almarhum YB Mangunwijaya pernah mengatakan bahwa bahasa Jawa yang pada masa Majapahit hanya tiga tingkat mengalami penghalusan menjadi delapan tingkat sehingga lebarlah jarak penguasa dan rakyat jelata.
 
Menguatnya feodalisme membuat usaha menjalankan kekuasaan semakin menggayut ke atas dan menindas ke bawah. Perkembangan ini menentukan politik kolonial selanjutnya, sebagaimana terangkum dari pola pikir Van Den Bosch: "cukup pegang penguasanya."
 
Di era merdeka, dalam kurun 1950-an, kelas menengah hendak ditumbuhkan melalui fasilitas istimewa lisensi impor dan proteksi melalui Program Benteng. Namun, usaha itu disalahgunakan para makelar dan birokrat korup  untuk melakukan praktik jual-beli lisensi impor.
 
Sejak Orde Baru, kelas menengah yang tumbuh cenderung menyesuaikan diri pada jalinan relasi politik dan modal yang dibangun. Seiring dengan gempuran liberalisasi ekonomi, banyak di antara kelas menengah lebih berorientasi sebagai mitra yunior ekonomi pasar dan menjadikan elite politik sebagai patron.
 
Kalangan terdidik lebih merasa bangga bekerja di perusahaan besar, terlebih milik asing, tanpa peduli perusahaan itu merugikan negara dan memarginalkan masyarakat lokal. Adapun mereka yang membangun usaha sendiri tak jarang mengambil jalan pintas berkolusi meraih proyek yang didanai negara.
 
Akhirnya, ketika terjun ke dunia politik, banyak kelas menengah tak memiliki sensitivitas terhadap persoalan sehari-hari rakyat sehingga sulit diharapkan melakukan kontrol politik yang efektif.  
 
Untuk memutus mata rantai jalinan relasi modal dan politik yang terus menjerat bangsa yang memiliki alam subur dan kaya ini, bangsa Indonesia tak hanya perlu menumbuhkan kelas menengah yang kuat, juga memiliki akar kerakyatan.
 
Kalangan muda terdidik diharapkan menciptakan lapangan kerja sendiri, tak melulu berebut pasar tenaga kerja yang selalu terbatas. Diperlukan penumbuhan wirausaha mandiri dengan menata sektor perdagangan dan industri yang berkeadilan, memberikan kesempatan pelatihan usaha di berbagai bidang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan masyarakat lokal, serta memperluas akses kredit produktif dan memperketat kredit konsumtif.   
 
Selama ini kaum tani dan nelayan banyak diisi generasi tua dengan pendidikan rendah yang selalu kalah bersaing. Berkaitan dengan itu, kalangan muda terdidik diberi insentif kembali ke kampung halaman dengan memperoleh kredit modal dan alat produksi beragunkan ijazah.
 
Kelas menengah yang tumbuh itu dapat mendorong pemberdayaan koperasi desa untuk mengembalikan sektor agraris dan kelautan kepada  rakyat seluasnya. Dengan 73.067 desa di Indonesia, roda pembangunan berbasis pemberdayaan masyarakat lokal dapat digerakkan.
 
Kelas menengah yang berakar pada rakyat juga dapat muncul di perusahaan pertambangan yang sudah dilakukan peninjauan ulang kontrak agar hasilnya diperuntukkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. 
 
 
Retor AW Kaligis Koordinator Link (Lingkaran Komunikasi) Nusantara
 
 
Sumber:
Harian Kompas, Sabtu, 11 Juni, hlm. 7
 
http://cetak.kompas.com/read/2011/06/11/02291310/bangsa.yang.belum.memerdekakan.diri

Artikel ini bagus untuk kita Introspeksi diri: JAS MERAH, belajar dari sejarah

__._,_.___
Recent Activity:
KOMUNITAS HISTORIA INDONESIA (KHI)
>>> Another way to love Indonesia!
Phone: +6221.3700.2345, Mobile: +62818-0807-3636
Email/FB: komunitashistoria@yahoo.com
Twitter: @IndoHistoria
Mailing list: http://groups.yahoo.com/group/komunitashistoria
Homepage: http://www.komunitashistoria.org
MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.


Get great advice about dogs and cats. Visit the Dog & Cat Answers Center.

.

__,_._,___

+ Add Your Comment

Sponsored by