Advertise Box

[ac-i] Re: Belum terjawab

 



Bung benar. Kita punya kebiasaan memuji, menyanjung, mengagung-agungkan(terutama terhadap para pemimpin) daripada  mengkritik, mengoreksi terhadap sesuatu yang patut dikritik dan dikoreksi. Lalu apakah benar semua yang dipuji dan diagung-agungkan itu memang pantas dipuji atau hingga diagung-agungkan?.  Moctar Lubis pernah mengatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa munafik. Meskipun dia seorang wartawan reaksioner dan anti komunis, tapi dalam hal ini dia benar. Bangsa kita suka berdamai tanpa prinsip, tapi lain di mulut lain di hati. Kalau seorang memuji seseorang , sering dimaksudkan untuk mengkritik orang lain yang dia tidak berani mengkritiknya secara terang-terangan atau memuji si A untuk menyindir atau membuat si B tidak merasa enak yang tidak disukainya atau menggunakan filsafat "lempar batu sembunyi tangan".
Juga dalam berdebat atau berdiskusi apabila telah merasa kalah beragumentasi lalu ia mulai bicara soal "tatakrama" dan mengutip dari sana sini "teori" berdebat dan berdiskusi sambil menuduh lawan debatnya suka "maki-maki" dan biasanya diahiri dengan mendiskriditkan lawan debatnya bila dia punya kuasa untuk itu sambil tetap mengagung-agungkan "demokrasi".
 
Dan apabila kebiasaan meng-agungkan, memuja muji  merembes ke politik, persoalan menjadi rumit dan bisa mengacaukan ideologi banyak orang. Sekarang kaum Sukarnois kembali aktif mengagung-agungkan kebesaran Sukarno, kemujaraban Panca sila yang diciptanya untuk mengambil keuntungan politik bagi sesuatu Partai yang diikuti atau yang menjadi pujaannya. Padahal John Roosa( seorang peneliti asing yang sarjana dan penulis buku"dalih pembunuhan massal" yang baru-baru ini dilarang Kejagung) juga turut membenarkan kolega-kolega peneliti asing lainnya bahwa penolakan Sukarno untuk menyokong G30S telah menyebabkan kegagalan total gerakan itu dengan akibat terror suharto terhadap kaum Komunis dan rakyat tidak bersalah menjadi korban penyembelihan tiga juta manusia rakyat Indonesia. Bahkan ketika para perwira tinggi Sukarno mengusulkan untuk melawan rencana gempuran suharto terhadap tempat di mana Sukarno disembunyikan (Pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma) Sukarno tetap menolak dengan tegas dengan dalih tidak ingin pertumpahan darah lebih banyak lagi . Dua kali penolakan Sukarno yang bersifat fatal itu telah membuktikan semua ajaran-ajaran revolusinya yang selama ini dianggap paling revolusioner itu, ternyata cumalah ajaran revolusi macan kertas. Tidak satupun ajaran-ajaran revolusinya yang berbentuk dekrit, manifesto, buku-buku dan macam-macam "tri-triannya" yang serba sakti yang bisa dipraktekkan yang bahkan oleh dia s endiri. Sukarno seorang yang pernah diangkat menjadi Presiden seumur hidup, Panglima besar revolusi dan Angkata Bersenjata Indonesia, ternyata telah mengahiri hidupnya dengan penyerahan diri pada suharto dan menjadi tawanan suharto karena dia tidak berani melawan coup suharto yang akan menggulingkannyan dan lalu ia mengkhianati kawan setianya selama ini: PKI, dengan menuduh PKI punya pemimpin yang "keblinger" yang bisa diartikan PKI "terlibat dan dalang G30S". Kejatuhan dan ahir dramatis Sukarno itu malah kembali diagung-agungkan para Sukarnois yang tua-tua termasuk kaum Oporkaki PKI (Oportunis kanan -kiri PKI) temasuk yang masih hidup di luar negeri yang tulisan-tulisanya  hampir selalu muncul  dengan satu tema, satu suara, satu dogma: :"Kehebatan Sukarno dan Panca sila ciptaannya".
 
Juga John Roosa menggunakan kebiasaan orang Indonesia yang suka puji-pujian untuk mencapai tujuannya: ANTI KOMUNIS, ANTI PKI dengan metode memuji muji PKI, "membela "PKI secara Partai sambil menghujad serta membikin cerita-cerita dongeng a la 1001 malam tentang "perencanaan"para peminpin PKI dalam mendalangi G30S. Fitnah kasar suharto terhadap PKI yang gagal di ambil over oleh John Roosa dengan metode super licin bagai belut dalam memfitnah pimpinan PKI sebagai "perencana dan dalang G30S" sambil memuji setengah mati pengkhianat besar PKI Sudisman dan manjadikan "dokumen" SOEPARDJO     sebagai kitab injil(bijbel) yang digunakannya sebagi dukumen yang paling benar dan paling sah untuk memfitnah PKI dan para pimpinannya. Johan Roosa mengira semua orang Indonesia itu naif yang bisa dia tipu dengan dongeng-dongeng yang dia karang-karang sendiri. Dalam bukunya bertaburan kata-kata:  barangkali, agaknya, mungkin, menurut si anu, dan segala macam kata-kata semu untuk menyembunyikan fantasi dan tujuan liciknya: ANTI KOMUNIS ANTI PKI, sambil mengadu domba antara anggota-anggota PKI dan Pemimpinnya sesuai dengan misinya  sebagai CIA gelap yang menyusup dalam ke jantung bangsa Indonesia yang suka puja puji dan mengagung-agungkan dirinya maupun orang lain.
Salam,
ASAHAN.
 
 
----- Original Message -----
From: Lusi D.
Sent: Thursday, June 09, 2011 2:56 PM
Subject: Re: #sastra-pembebasan# VB: [RumahKita] BELUM TERJAWAB

 

Sayapun mengalami kesulitan mencari jawaban ketika ada niat memberi
pendapat atas suatu artikel atau tulisan karya, kalau sudah didahului
oleh pujian orang terhadap tulisan itu. Belum selesai mengakhiri
fikiran hidup yang ada dalam otak, lho datang lagi pujian lain dan
biasanya lalu diakhiri dengan otopuji - Orang Surabaya bilang: Ko-en
bakul kecap tah. Wah kalau sudah begini, aku lebih baik tidak ikut
saja.
Mengapa kegiatan yang sudah dirintis Agam rupanya kok "berhenti"? Kan
kegiatan semacam itu diperlukan untuk memelihara dan mengembangkan
seni dan budaya? Atau karena pengelolaannya kurang "profesional"?
Memang kalau menakar mutu tukar pikiran selama ini, tidak selalu pada
masalah substansi persoalan yang didiskusikan. Komunikasi sering jadi
macet dan berhenti pada masalah tatakramanya saja, seperti yang
diungkapkan bung Asahan. Seandainya kita mengikuti nasehat Mao Tsetung:
"Yang bicara tidak bersalah, yang mendengar patut waspada", pasti akan
meningkatkan pengetahuan dan dengan sendirinya budaya komunikasi yang
lebih berkwalitet.

Sementara itu, kalau kita ikuti perkembangan bahasa Indonesia di
Indonesia sendiri sudah dirusak-rusak sampaipun gramatikanya juga mulai
dikacau-balaukan. Makaitu tidak heran, kalau di milispun pernah saya
jumpai tulisan yang mengatakan, "bahasa Indonesia itu tidak punya
gramatika". Kalau sudah begini, bagaimana menolongnya?

Salam untuk Swan, Bung Manap, Bung Asahan dan sahabat lainnya.
Lusi.-

Am Fri, 10 Jun 2011 13:19:14 +0200
schrieb "ASAHAN" <a.alham@kpnplanet.nl>:

> Alangkah idealnya pertemuan semacam ini. Sesama penulis membicarakan
> buku yang telah dibaca kepada sesama penulis lainnya. Saya
> kira(semoga saya salah) kebiasaan bertukar pikiran di antara penulis
> Indonesia tentang buku-buku yang mereka baca adalah kebiasaan yang
> belum sangat terbiasa kalau tidak boleh dikatakan langka. Saya
> teringat ketika kami sesama penulis di Belanda mengadakan acara
> kumpul-kumpul periodik antara penulis yang kami sebut namanya
> sebagai"Bengkel sastra" yang "diketuai"oleh almarhum Agam Wispi.
> Selama lebih kurang tiga tahun memang cukup teratur kami bertemu
> setiap dua atau tiga bulan sekali membicarakan dan berdiskusi apa
> yang sedang kami kerjakan, kami tulis dan kami baca. Hasilnya tidak
> lebih dari kesan-kesan umum terhadap naskah atau rencana naskah
> seorang kawan penulis dan tidak satu bukupun yang telah kami
> diskusikan dari kegiatan membaca buku kami. Hanya Agam yang memang
> bisa dipercaya banyak membaca dan memang buku-bukunya memenuhi semua
> ruang tamu dan ruang tidurnya. Dari pengalaman kami sesama penulis
> dapat dibayangkan betapa kurangnya atau kalau mau lebih jujur lagi,
> betapa miskinnya bacaan para penulis seperti kami-kami itu. Membaca
> belum menjadi kebudayaan wajib bagi para penulis Indonesia. Padahal
> membaca adalah barometer pertama bagaimana mutu seorang penulis dan
> bobot tulisan-tulisannya. Penulis yang miskin bacaannya atau malas
> membaca bisa diumpamakan dengan seseorang yang tampak pucat pasi,
> kurus, kurang vitamin, kurang darah meskipun dengan produktivitas
> menulis yang mungkin saja tinggi tapi tulisan-tulisannya akan terasa
> kurang cita rasa, kurang matang pemikirannya, kurang mantap
> bahasanya, kurang memukau fiksi serta fantasinya seperti juga yang
> pada umumnya terjadi pada penulis Lekra yang mudah terjerumus pada
> "pamfletisme". "semboyanisme" atau "criteriumisme" atau "asal
> jadi-isme". Penulis yang kurang membaca bisa cepat dibaca oleh
> pembaca yang berpengalaman apalagi yang kritis: hambar, banal dan
> kurang matang. Seorang penulis, pertama-tama adalah seorang pembaca
> yang rakus seperti keranjang tanpa dasar atau orang Belitung
> menyebutnya "keranjang rubus": makan sebanyak apapun tidak kenyang
> dan bagi penulis, membaca sebanyak apapun tidak pernah cukup. Sudah
> begitupun tidak ada jaminan tulisannya pasti bermutu dan digemari
> pembaca. Apalagi penulis yang miskin bacaannya. ASAHAN.
>
>
>
> ----- Original Message -----
> From: S Manap
> To: GELORA 45 ; RumahKitaBersama@yahoogroups.com ; sastra
> pembebasan Sent: Thursday, June 09, 2011 11:21 AM
> Subject: #sastra-pembebasan# VB: [RumahKita] BELUM TERJAWAB
>
>
>
>
> Ini saya fowardkan tulisan May Swan dengan judul "BELUM
> TERJAWAB". Jawaban dari teman-teman yang membacanya tentu saja
> diharapkan. Salam S.Manap.
>
> --- Den tors 2011-06-09 skrev MAY SWAN <subang@singnet.com.sg>:
>
> Från: MAY SWAN <subang@singnet.com.sg>
> Ämne: [RumahKita] BELUM TERJAWAB
> Till: mimbar-bebas@yahoogroups.com, RumahKitaBersama@yahoogroups.com
> Datum: torsdag 9 juni 2011 09:29
>
>
>
> BELUM TERJAWAB
>
> Submitted by
>
> MAY SWAN
>
> Beberapa minggu terakhir, secara kebetulan, aku didatangi banyak
> tamu. Mereka adalah orang Indonesia yang sudah menjadi warga negara
> Eropa setelah menetap sekitar setengah abad di luar negeri. Mampir
> sehari, dua di Singapur dalam perjalanan kembali ke Eropa, sebagian
> di Paris, Belgium dan Amsterdam, setelah holiday pulang kampong.
>
> Sebagaimana umumnya orang yang mampir di Singapur dari perjalanan
> pulang kampong, merasa kehidupan kota Singapur sangat nyaman, bersih
> dan teratur. Dan ini tidak mengherankan, karena memang demikian
> adanya. Hanya, tentunya mereka tidak nampak dan tidak terasa betapa
> berat masyarakat Singapur kerja demi membeayai ongkos hidup yang
> sangat tinggi. Secara official jam kerja dari 9 pagi hingga 5 petang,
> tapi dalam kenyataan, tidak jarang jam 10 petang baru berhenti kerja
> keluar kantor.
>
> Dalam beberapa kali pertemuan yang paling kami senangi adalah
> bertukaran pikiran mengenai buku buku baru dan lama yang pernah kami
> baca. Maklum, sesama penulis.
>
> "Saya baru selesai baca biography Robert Kennedy tulisan Evan
> Thomas," ujar seorang teman.
>
> "Oh, itu bukan buku baru, ya?"
>
> "Bukan. Diterbitkan pertama kali tahun 2000."
>
> "Bagaimana kesanmu?"
>
> "Saya senang sekali dengan caranya penulis mencurahkan ceritanya.
> Sangat mulus dan hidup."
>
> "Maksudmu?"
>
> "Sebagai penulis biography, Evan Thomas bukan hanya bertutur
> mengenai kehidupan subjectnya secara pribadi, tapi juga situasi dan
> perkembangan politik Amerika pada masa itu. Dan harus kita akui,
> dalam menjalankan research, penulis handal barat rata rata sangat
> teliti."
>
> "Jadi banyak ditulis mengenai Perang Vietnam dan Perang Dingin pada
> masa itu?"
>
> "Ya, juga mengenai The Bay of Pigs. Peristiwa ini dulunya dikatakan
> di mass media, Amerika bersedia menantang Cuba, karena adanya senjata
> nuclear dari Uni Soviet ditempatkan di Cuba yang dianggap sebagai
> acaman oleh Amerika. Tapi, sebenarnya malah sebaliknya. Senjata itu
> ditempatkan disitu, karena Amerika berkali kali menyerang Cuba dengan
> menggunakan dan memobilisir para exile yang menetap di Amerika, dan
> banyak kali berusaha membunuh Fidel Castro. Tapi gagal."
>
> "Oh, ini diceritakan dalam buku itu? Ini kan masa pemerintahan
> Presiden Jack Kennedy?"
>
> "Ya, benar. Pimpinan Kennedy yang kita puji sebagai pimpinan bersih
> dan berhaluan kiri, sebenarnya juga penuh dengan rekayasa permainan
> kotor tangan politik, bahkan menggunakan kekuatan mob demi
> menjatuhkan lawannya. Pada permulaan, mereka bahkan berusaha mencoba
> menghalang perkembangan aktivitas Martin Luther King Jr."
>
> "Lha itu kan Civic Movement yang menantang Segregation? Kenapa
> dihalangi?"
>
> "Karena dianggap mendapat dukungan dari Moscow. Pada masa itu,
> yakni jamannya Perang Dingin, apa saja yang dicurigai berafiliasi
> dengan Komunis semuanya dianggap sebagai ancaman bagi keselamatan
> negara. Perlu dicegah dan dibasmi."
>
> "Lalu, yang paling terkesan dalam buku itu apa?" Seorang teman lain
> menyeletuk.
>
> "Pertama luas dan mendalam researchnya. Tapi yang tidak kurang
> mengesankan, sekalipun nampak banget dimana penulis berpihak; tidak
> ada tulisan biography yang tidak berpihak, tapi tetap terasa
> ketulusannya, dan yang lebih penting, penulis tidak mengajukan hanya
> factor positif dan menutupi sisi negatifnya. Jadi tidak terjerumus
> kedalam kategori propaganda yang menjemukan."
>
> "Betul, inilah yang tidak terdapat dalam tulisan mengenai sosok
> pimpinan di tanah air. Isi tulisan niscaya kalau bukan baik sekali,
> ya buruk sekali, sangat subjective dan emosional. Akhirnya hanya
> terkesan sebagai propaganda, seperti katamu itu."
>
> "Betul, katamu. Kalau seorang pemimpin sudah dianggap pernah
> berjasa, apa pun kesalahannya akan diberi impunity. Jiwa feudal
> memuja pimpinan masih kental membudaya."
>
> "Aku tidak mengerti, bukankah sudah selayaknya bahwa seseorang yang
> mendapat kedudukan untuk memimpin harus melakukannya dengan baik.
> Kalau ia berhasil, itu memang tugasnya, kenapa perlu dipuja puji
> bagaikan dewa di kayangan?" Tanyaku.
>
> "Tidak masuk akal, ya? Hahahaha…." Semua tertawa.
>
> Aku turut tersenyum, tapi pertanyaanku masih belum terjawab.
>
> [Non-text portions of this message have been removed]
>
> [Non-text portions of this message have been removed]
>
>
>
>
>
> [Non-text portions of this message have been removed]
>

gsa Indonesia

__._,_.___
Recent Activity:
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com

-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
.

__,_._,___

+ Add Your Comment

Sponsored by