Advertise Box

[ac-i] KOLOM Yudhis: Tumpas Korupsi ala “Stalinisme”!

 



Tumpas Korupsi ala "Stalinisme"!
Oleh: Yudhistira ANM Massardi

"Lebih baik berkurang satu kepala tak berdosa daripada bimbang menuju
perang."(Joseph Stalin).

KORUPSI sudah menjadi kejahatan luarbiasa. Menjadi kanker mematikan yang
menjalar ke seluruh tubuh bangsa. Meracuni darah dan daging. Menghancurkan
moralitas para pelaksana pemerintahan dari kementerian hingga kelurahan.
Membejatkan nurani para penegak hukum: polisi, jaksa, hakim. Membuat
lembaga-lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif menjadi begitu menjijikkan.
Dari Ibu Kota hingga ke desa-desa.

Dengan tetap bercokolnya, antara lain, Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan
dan Kementerian Kesehatan di daftar lembaga negara paling korup di Indonesia,
maka jiwa-raga bangsa telah begitu teraniaya dan terdzolimi. Konsep ketuhanan
dan kemanusiaan runtuh. Norma-norma agama dan etika hancur. Manusia Indonesia
terbenam ke kubangan kebobrokan yang tanpa harapan. Kita menjadi bangsa yang
berjalan mundur dengan cepat ke lembah "Soddom dan Gomorah."

Kondisi separah ini tak mungkin bisa diselesaikan dengan cara-cara yang biasa.
Diperlukan tindakan luarbiasa, oleh kepempimpinan negara yang tidak biasa. Kita
memerlukan sebuah "stalinisme."

Joseph Stalin, ialah pemimpin Uni Soviet (1924-1953) yang paling brutal. Selama
hampir 30 tahun memerintah dengan kediktatoran absolut, ia diperkirakan telah
membantai sekitar 30 juta manusia.

Para korbannya, yang dibunuh dengan tuduhan "kontra revolusi" dan "pengikut
Trotsky," bukan hanya kaum tani/tengkulak, borjuis/feodal, melainkan juga para
pengurus partai hingga para kamerad terdekatnya.

Menurut buku Stalin, Kisah-kisah yang tak Terungkap (Simon Sebag Montefiore,
Alvabet, 2011), dalam rangka "pembersihan" yang tak kunjung henti, dalam waktu
18 bulan saja (pada 1937-an), Stalin menangkap 1108 dari 1996 anggota delegasi
Kongres Partai Komunis XVII, dan 98 dari 139 anggota Komite Sentral, serta 5
dari 15 anggota Politbiro. Semuanya ditangkap, disiksa, diadili secara kejam,
dan hampir seluruhnya ditembak mati.

Tetapi, saya tidak sedang mengampanyekan genosida dan komunisme. "Stalinisme"
yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah keberanian dan kemauan politik untuk
melakukan pembersihan secara menyeluruh terhadap sel-sel kanker korupsi di
sekujur tubuh bangsa, yang tingkat kebejatan, kebiadaban, dan kerusakan yang
ditimbulkannya sudah menyamai – kalau tidak melebihi – tingkat kekejaman
Stalin.

Saya membayangkan ada sebuah "pengadilan rakyat" yang mengadili dan memenjarakan
2 juta dari 3 juta pegawai negeri di semua lembaga pemerintahan (dari lurah
hingga gubernur) dan lembaga tinggi negara (dari kepala bagian hingga para
direktur, dari kerani hingga jaksa agung dan ketua mahkamah agung, dari kapolsek
hingga kepala Polri, dari danrem hingga kepala staf). Ditambah dengan dua
pertiga dari anggota legislatif di seluruh Indonesia beserta staf
administrasinya. Juga dua pertiga dari 30-an menteri anggota kabinet.

Semuanya dikenai tuduhan melakukan korupsi dengan asas pembuktian terbalik.
Tolok ukurnya adalah: jika seluruh harta-kekayaan masing-masing melebihi jumlah
akumulasi gaji terakhirnya selama 60 bulan atau 120 bulan gaji, pastilah dia
korupsi atau melakukan penyalahgunaan jabatan! Tangkap dulu mereka dan
penjarakan. Jika pengadilan dengan asas pembuktian terbalik bisa menjelaskan
secara sah kehalalan asal-usul harta kekayannya yang berlebih itu, maka mereka
wajib dibebaskan demi hukum, dan namanya direhabilitasi.

Bisa saja diberlakukan masa "transisi" satu tahun. Maksudnya, kalau tak mau
dipenjarakan, para pemilik harta yang jumlahnya melebihi ambang batas tadi,
harus segera menyerahkan harta korupsinya itu ke kas negara, dan langsung
bertobat. Kumpulan harta itu digunakan untuk tujuan perluasan kesempatan kerja
dan peningkatan kuantitas dan kualitas pendidikan dasar sejak usia dini, serta
kesehatan rakyat, melalui penyaluran yang terbuka dan dikontrol oleh masyarakat.

Tanpa langkah-langkah besar untuk gerakan "amputasi nasional" semacam itu, bisa
dipastikan korupsi akan terus merajalela. Apalagi, kejahatan moral dan
intelektual sudah secara sistematis dipupuk kepada generasi muda sejak di
sekolah dasar (SD) hingga SMP dan SMA melalui pembocoran dan penyontekan massal
pada setiap kali ujian nasional. Kejahatan tak bermalu itu dilakukan oleh
konspirasi guru-kepala sekolah-lurah-camat-bupati/walikota dan para pengurus
partai setempat. Mereka malu jika tingkat kelulusan siswa di tempatnya rendah,
tapi tak bermalu mengajari anak-anak mereka melakukan kejahatan tersebut.

"Pendidikan kriminalitas" itu bisa diakhiri jika ujian nasional 100% tidak
menentukan kelulusan siswa. Untuk mendapatkan "standar kecerdasan nasional"
ujian itu boleh dilaksanakan, tetapi semata-mata sebagai suatu gimnastik, yang
diikuti oleh para siswa secara sukarela dan penuh kegembiraan. Dengan begitu,
maka salah satu peluang untuk kejahatan dan korupsi di bidang pendidikan juga
ditutup.

Gerakan pembersihan korupsi ini harus dibarengi dengan langkah-langkah preventif
yang segera dan dalam skala nasional juga. Semua sumber terjadinya korupsi dan
pungli ditutup rapat. Mulai dengan perampingan birokasi, percepatan dan
pembebasan biaya untuk seluruh urusan publik: mulai dari pembuatan KTP, STNK,
Paspor, dan seluruh bentuk perizinan. Segala urusan harus menjadi mudah, cepat,
nyaman dan gratis! Itulah gunanya teknologi komputer dan sistem jaringan.

Jika itu semua dilakukan, tentulah seluruh warganegara dan dunia usaha mau
dengan ikhlas dan penuh tanggungjawab membayar aneka kewajiban pajaknya. Semua
pihak paham, pajak adalah sumber pendapatan negara, dan dengan itulah negara
menyelenggarakan pemerintahan yang efektif, efisien, cepat, murah dan bersih
dari korupsi.

Kampanye nasional pun harus dilakukan, misalnya, dengan menganjurkan agar semua
anak Indonesia, sejak usia dini, setiap hari sebelum makan, selalu bertanya
kepada orangtuanya: "Ayah, ibu, apakah makanan yang akan aku makan ini berasal
dari rezeki yang halal atau haram? Semoga ayah dan ibu tidak tega dengan sengaja
membuat darahku dikotori oleh barang yang haram, walau hanya sebutir nasi."[]
(KOMPAS, 18 Juni 2011).
*Penulis adalah sastrawan/wartawan, pengelola sekolah gratis untuk dhuafa, TK-SD
Batutis Al-Ilmi di Bekasi.

Yudhistira ANM Massardi
email: ymassardi@yahoo.com
HP 0813.8842.0811
Pengelola Sekolah Gratis untuk Dhuafa,TK-SD Batutis Al-Ilmi Bekasi
Pondok Pekayon Indah Blok BB 29 No 6, Jl. Pakis V B, Pekayon Jaya, Bekasi 17148

Penerbit:
MEDIA TK SENTRA:Panduan Guru TK, RA, PAUD & Orangtua
>> Membangun Karakter dan Budi Pekerti
http://www.facebook.com/MEDIA.TK.SENTRA
www.mediatksentra.com

__._,_.___
Recent Activity:
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com

-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
.

__,_._,___

+ Add Your Comment

Sponsored by