Advertise Box

[ KHI ] Menarik Kalimat. (Maaf, sebesar-besarnya ikut nimbrung).

 

Maaf sebesar-besarnya, ikut nimbrung.
Kalimat Bung Karno: "Bangsa Indonesia bukan bangsa tempe," bukan merendahkan, bahkan sebaliknya meninggikan bangsa Indonesia. Saya masih ingat dalam rapat-rapat umum, Bung Karno selalu mengucapkan kalimat itu, di samping kalimat: "Bangsa Indonesia bukan bangsa kintel." Kintel artinya adalah anak kodok (katak). Di samping kalimat-kalimat itu, Bung Karno selalu mengucapkan kalimat: "Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar," "Hanya bangsa yang besar menghormati para pahlawannya."
 
Bung Karno mengucapkan kalimat-kalimat tsb, supaya kita jangan merasa rendah diri  sebagai bangsa yang sudah merdeka. Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Pada zaman penjajahan Belanda, bangsa kita, inlander, inboorling, yang berarti pribumi, kemudian menjelang invasi Jepang pada tahun 1942,  istilah-istilah tsb. diganti dengan "inheems" yang lebih-kurang sama artinya, hanya agak diperhalus. Kemudian istilah "Indonesia," "Indonesie," dan "Indonesier(s)" diobral pemakaiannya, yang sebelumnya dianggap taboo, salah-salah bisa diperkarakan, karena mengganggu "rust en orde" (keamanan dan ketertiban).
 
Anehnya, walaupun di Belanda, kita juga dinamakan "inlanders." Ada suatu anecdote, pada tahun 1925, waktu para polisi menggeledah tempat tinggal para mahasiswa kita, mereka menanyakan : "Hoeveel Inlanders zijn er heer?" (Berapa Inlanders yang ada di sini?), maka dijawab oleh para mahasiswa kita, "O, erg veel" (O, banyak sekali) sambil menunjuk ke kanan-kiri rumah tempat tinggal para mahasiswa kita.
 
Lebih menyakitkan lagi, seorang pejabat Belanda pernah mengatakan tentang negeri kita: "Een land van koelies en koelies onder de volken" (Negeri kuli dan kuli-kuli diantara bangsa-bangsa). Di tempat berenang (zwemband) di Bandung, tertulis dalam papan yang besar: "Verboden voor honden en Inlanders" (Dilarang untuk anjing dan Pribumi).
 
Dalam zaman pendudukan Jepang, bangsa kita dinamakan "genjumin" dan "bakero," kata-kata makian yang melebihi uccapan Belanda selama penjajahan.
 
Bung Karno sungguh-sungguh memberi semangat pada kita, yang pada waktu jaman revolusi dinamakan "wejangan" agar jangan merasa rendah diri sebagai bangsa yang sudah merdeka.  Pada tahun 1946, waktu saya masih bersekolah di Sekolah Guru Negeri, kami bersama-sama ke Pagelaran, Kraton Surakarta, untuk mendengarkan wejangan Bung Karno. Meskipun hujan, Bung Karno datang juga sesuai dengan acara yang sudah dijadwalkan.
 
Saya masih kata-kata yang diucapkan Bung Karno, a.l. "Gantungkanlah cita-citamu di langit, kalau tidak, akan terlalu rendah," suatu kutipan dari syair penyair Belanda: Henriette Roland Horst: "Hangt Uw idealen aan de sterren, anders is het te laag." Kemudian Bung Karno sambil berkelakar memberi contoh. Seorang keponakan suka sekali makan soto ayam, sehingga pada suatu kali ia mengatakan cita-citanya ingin menjadi penjual soto ayam. Bung Karno bukan merendahkan penjual-penjual soto, tetapi apakah tidak ada cita-cita yang lebih tinggi daripada penjual soto ayam. Demikian kenangan waktu saya masih sekolah di Solo pada tahun 1946.
 
Mengenai tempe, konon sejarahnya adalah sbb. Pada zaman sistem tanam paksa (cultuurstelsel) sehabis Perang Diponegoro, Belanda hampir bangkrut. Maka diperkenalkan Cultuurstelsel, untuk menutup kebangkrutan itu. Tanah-tanah luas yang sebelumnya dipakai untuk mengembala ternak oleh penduduk kita, oleh Belanda dipaksa supaya ditanami tembakau, kopi, dll. yang dijual di pasaran dunia di Amsterdam. Oleh karena penduduk kita kehilangan tanah-tanah luas, maka tidak bisa mengembala ternak lagi dan tidak dapat makan daging seperti sebelumnya. Lalu diam-diam dicari akal untuk mengganti daging itu, dengan membuat makanan yang dibuat dari kedelai di sungai.
 
Mungkin di Jawa Barat sejarah oncom juga hampir sama. Waktu zaman Cultuurstelsel, tanah-tanah luas dipaksa untuk ditanami kopi, setelah harga kopi jatuh di Amsterdam, tanam-tanaman kopi itu diperintahkan agar ditebang semua. Maka pendudk membuat pengganti daging dengan bungkil suuk, yang dinamakan oncom. Sayangnya, kita lalai mepatenkan tempe yang sederhana tetapi bergizi itu sehingga kedahuluan Jepang.
 
Tempe yang diperkenalkan oleh seorang Belanda Indo di negarabagian Connecticut, AS, dan dieja namanya "tempeh," mula-mula sangat populer di AS, dijual di supermarket-supermarket dan health stores. Karena sudah dipatent oleh Jepang, tempe hilang dari pasaran. Ada sebuah toko  keperluan rumah tangga, milik orang Tionghwa mungkin berasal dari Indonesia, membuat tempe secara sembunyi dan dijual tanpa keterangan apa-apa. Selain dipatent oleh Jepang, di Jakarta ada sebuah paberik kripik tempe, yang diekspor di kota New York, satu bungkus dua setengah dolar, lima biji tipis-tipis.
 
Demikian sekadar tambahan saya. Sekali lagi saya mohon maaf sebesar-besarnya telah ikut nimbrung dan mungkin ada yang kurang berkurang. Terimakasih.
 
Salam Lestari!,
Sumar.
 
 

__._,_.___
Recent Activity:
KOMUNITAS HISTORIA INDONESIA (KHI)
>>> Another way to love Indonesia!
Phone: +6221.3700.2345, Mobile: +62818-0807-3636
Email/FB: komunitashistoria@yahoo.com
Twitter: @IndoHistoria
Mailing list: http://groups.yahoo.com/group/komunitashistoria
Homepage: http://www.komunitashistoria.org
MARKETPLACE

Stay on top of your group activity without leaving the page you're on - Get the Yahoo! Toolbar now.

.

__,_._,___

+ Add Your Comment

Sponsored by