Advertise Box

Tampilkan postingan dengan label CATATAN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label CATATAN. Tampilkan semua postingan
0
 
RAHASIA PARTAI (PKI)
Seorang teman yang telah keluar dari Partai pernah menuding saya: "Pengetahuan bung tentang PKI sangat rendah, dangkal dan tidak bermutu". Saya tidak segera menjawab meskipun saya punya waktu yang cukup untuk menjawab dan merenungkan tudingan teman yang bermaksud baik itu. Tapi yang saya tahu tentang teman yang tidak pernah saya kenal sebelumnya itu  pernah hidup berkumpul bersama, hidup kolektif dalam sebuah kamp penampungan di bumi Tiongkok sebagai orang-orang bekas anggota PKI yang tidak bisa pulang ke tanah air mereka dan di sana berkumpul dari mulai calon anggota Partai, kader-kader Partai tingkat rendah hingga kader tertinggi yang duduk dalam pucuk pimpinan Partai.  Dan semua orang tahu bahwa kehidupan mereka selama berkumpul dalam satu tempat itu hanyalah bertengkar, berdiskusi, bermusuhan, berkawan, berkelahi dan berbicara tak habis-habisnya tentang Partai di masa lalu. Pengetahuan mereka tentang Partai memang luar biasa kayanya terutama pengetahuan fiktif yang kaya fantasi, imajinasi dan kreatifitas  membikin sejarah baru dari  Partai mereka. Dan bukan hanya di luar negeri tapi juga di dalam negeri, pengetahuan mendalam tentang Partai dan seluk beluk Partai  yang telah dimiliki oleh hampir semua bekas-bekas anggota Partai termasuk yang pernah dibuang di Pulau Buru, di penjara-penjara atau yang dari Nusa Kambangan, yang semuanya berusaha menjual pengetahuan mereka tentang Partai kepada siapa saja yang berminat dan terutama kepada para peminat asing yang akan menulis sejarah Partai yang  memberikan sedikit kontra prestasi kepada setiap ilmuan sejarah Partai yang seharusnya bisa dipercayai itu. Di manakah lagi yang tersisa rahasia-rahasia Partai yang belum terungkap dan  tersingkap?. Bahkan di pengadilan musuh semuanya telah dibuka lebar-lebar sehingga yang mencatat sudah kehabisan tenaga dan merasa sudah cukuplah, bahkan sudah terlalu banyak rahasia Partai yang digelontorkan hingga tidak mungkin dibedakan lagi yang mana yang sungguh-sungguh tahasia Partai dan yang mana yang fiktif oleh rekaan fantasi dan imajinasi. Musuh sudah tidak punya gudang persediaan untuk menampung rahasia Partai PKI yang dibuka oleh orang-orang PKI sendiri. Para ahli dan peneliti asing merasa sudah dibanjiri inflasi rahasia Partai hingga mereka sudah enggan menulis buku lebih banyak karena terlalau banyak memiliki rahasia hingga rahasia itu sesungguhnya sudah tidak ada dan bila semua rahasia sudah terbuka dan dibuka berarti semua rahasia melenyap: bukan rahasia lagi! Buku-buku yang ditulis peneliti asing semakin rendah mutunya karena terlalu banyak sensasi dan isapan jempol dan yang merasa dirugikan adalah pembuka-pembuka rahasia professional yang bahkan fiksi dan fantasi mereka sudah kehilangan kemujarabannya dan menjadi barang-barang kodian yang bertumpuk-tumpuk di tengah pasar tanpa pembeli.
Tapi apakah sesungguhnya rahasia terbesar PKI ?, siapakah yang memegang rahasia itu? Orang hanya bisa menduga duga yang kadang-kadang kebetulan benar dan juga tidak. Karena rahasia besar dan satu-satunya dari PKI hanya berada di tangan Ketua PKI dan Suharto. Dan karena Suharto mengetahui dengan pasti rahasia besar PKI maka dialah yang berhasil merebut kemenangan serta berhasil menghancurkan PKI. Sama halnya dengan rahasia-rahasia militer Kuo Min Tang yang diketahui pihak PKT karena orang-orang militer mereka yang masuk dan bekerja dalam Markas besar militer KMT dan mengetahui rencana-rencana serangan militer mereka terhadap Long Marsh  Tentara Pembebas Rakyat Tingkok (TPRT) dan menggagalkannya hingga Kumintang kalah dan terusir hingga pulau Formosa atau Taiwan sekarang ini. Dan apakah konon rahasia besar PKI itu? Tidak secuilpun yang surprais dalam rahasia itu, tidak menggemparkan, tidak sensasionil, tidak spektakuler tapi punya nilai strategis dan taktis yang luar biasa besar dan pentingnya yang akan menentukan  PKI menang atau kalah. Dan karena rahasia itu terbuka dan hanya diketahui oleh suharto, maka PKI kalah dan hancur seperti juga kekalahan Kuo Min Tang meskipun mereka tidak hancur.
PKI tidak akan membrontak dan tidak bermaksud  memberontak serta tidak merencanakan pemberontakan, tidak akan merebut kekuasaan dengan senjata dan hanya akan menlancarkan revolusi administratif yang tidak mengalirkan darah  dengan peralihan kekuasaan secara damai. Itulah semua rahasia besar PKI. Dan rahasia itu hanya ada di tangan Ketua PKI yang lalu  hanya diketahui oleh Suharto. Untuk menjaga  dan menutupi rahasia besar itu PKI lalu berkampanye dengan nada agresssif untuk mengesankan pada musuh (militer) bahwa PKI punya kekuatan riil, punya dukungan di kalangan militer, punya sahabat tersetia yaitu Sukarno yang punya hubungan historis dengan Ketua PKI maupun kader-kader PKI lainnya, punya pengaruh dalam Nasakom dan yang penting juga punya massa simpatisan puluhan juta, punya "tiga juta" angggota Partai(PKI tidak punya sistim kartu anggota yang Ketua Partainya sendiri tidak pernah tahu persis berapa jumlah anggota-anggota Partainya), punya orang-orang mereka dalam Kekuasaan Negara (meskipun belum penting dan tidak penting), punya para sahabat Internasional Partai-partai sekawan sepert a.l. Tiongkok(PKT), PKUS Soviet Uni(  yang diahiri  dengan menjadi musuh). Dan semua harta benda raksasa itu bukanlah kebetulan otomatis dipunyai PKI tapi telah lama disiapkan sebagai sendjata strategis dan taktis untuk merebut kekuasaan tanpa  meledakkan senjata. Dan kampanye agressif yang seolah olah PKI punya kekuataan riil, kekuatan bersenjata di belakang mereka, hingga membuat musuh-musuhnya takut (ingat "mengganyang setan-setan desa dan kota" atau"bersiap-siap atas kemungkinan piring mangkuk pecah") dimakksudkan agar musuh tidak terprovokasi untuk menggunakan senjata terlebih dulu bagi memukul PKI: itulah taktik PKI, taktik menggertak musuh untuk melancarkan revolusi administratif yang diharapkan tidak meledakkan senjata, tidak berdarah, tidak menimbulkan korban rakyat yang besar. PKI punya semboyan yang mereka sering lontarkan: "Bila tergantung pada PKI, maka PKI tidak akan merebut kekuasaan dengan kekerasan" ( dengan senjata atau pemberontakan revolusi kekerasan). Semboyan yang punya dua lidah ular atau dobel moral ini punya makna di satu pihak, memang PKI sungguh-sungguh punya strategi dan taktik jalan damai sebagai garis politik yang terpokok dan terpenting dan pula satu-satunya, yang tunggal, tapi makna yang lain mempunyai sifat gertak dalam kata-kata "kalau tergantung pada PKI" yang itu sama sekali tidak sungguh-sungguh yang bersifat menipu ke dalam (PKI sendiri)  dan keluar (musuh). Namun maksud PKI memang baik meskipun sudah pasti akan berahir buruk. Saya teringat akan kata-kata Prof. Salim Said yang mengatakan: "Maksud Gus Dur untuk menghapus TAP MRRS/25/1966 adalah baik-baik saja, tapi dilontarkan pada saat yang tidak tepat ketika trauma rakyat terhadap PKI masih mendalam". Sebuah kesimpulan Prof. Salim yang murni , genial meskipun terdengar sederhana. Persis sama dengan PKI yang juga punya maksud sederhana tapi budiman, tidak ingin menggunakan kekerasan dalam mencapai cita-cita untuk mendatangkan kemakmuran rakyat tapi juga dilotarkan di saat-sat musuh sedang kuat dan juga kalap serta punya semangat anti Komunis yang sangat tinggi dan sedang menggelora. Dan di saat inilah PKI melakukan kesalahan fatal dan berakibat fatal pula. PKI hanya punya satu rahasia dan tidak punya cadangan rahasia yang lainnya  atau kalau dianggap punya cumalah rahasia kosong melompong gertak sambal dalam kata-kata: "kalau tergantung pada PKI". Mestinya dibalik kata-kata demikian PKI punya kekuaktan riil, punya senjata, punya pasukan yang  yang juga mutlak rahasia ( berapa jumlah kekuatannya, dibawah kendali siapa , di mana kekuatan mereka terpusat). PKI hanya berhasil menanamkan disiplin baja terhadap para anggotanya: mutlak hanya mendengar satu komando, komando tertinggi, komando Ketua Partai. Dan selama komando tertingi tidak memutuskan : "LAWAN"! seperti yang diputuskan oleh penyair Wiji Thukul kemudian, maka seluruh PKI tidak akan berlawan dan ketika suasana damai telah hancur dan PKI dipukul  hebat, Ketua PKI telah sempat dibunuh Suharto karena suharto tahu persis PKI tidak akan berlawan sesuai dengan garis politik damai mereka dan drama tragis itupun datang menimpa PKI dan rakyat Indonesia. PKI tidak punya rahasia cadangan kedua yaitu berlawan dengan pemberontakan bersenjata bila revolusi adminiustrasi telah gagal total. Perintah :"LAWAN !" yang seharusnya telah saatnya untuk melanggar disiplin baja sebagai  disiplin tidak  berlawan bila tidak ada komando, memang tidak mungkin diberikan karena memang tidak ada persiapan dan rahasia demikian. Komando "Lawan!" dalam situasi demikian tidak mungkin diberikan. Juga karena PKI mempuyai garis yang sama seperti garis Sukarno: Melancarkan revolusi administrasi, revolusi gertak sambal, revolusi pidato dan perang manifestasi dengan peluru kertas dan pernyataan-pernyataan, protes-protes serta banjir semboyan "revolusioner" di kota-kota.
Namun juga PKI telah memberikan pelajaran yang tak terhingga besarnya sebagai guru negatif bagi generasi selanjutnya: Jalan damai yang  sungguh-sungguh tidak akan pernah ada, tidak mungkin ada dan kalau dipaksa diadakan akan pasti menemui kegagalan dan kehancuran. Jalan Parlemen adalah jalan ilusi yang akan selalu mengabadikan penderitaan dan kemiskinan serta penghisapan, penindasan terhadap rakyat oleh penguasa reaksioner yang licik. Karenanya jalan yang lurus dan benar untuk membebaskan rakyat dari penindasan dan penghisapan penguasa mereka adalah jalan revolusi kekerasan bersenjata jangka panjang, dan itu sama sekali bukan rahasia melainkan harus diumumkan kepada siapa saja agar rakyat tidak ragu dan tertipu. Revolusi hanya mengenal satu rahasia terbesar dan mutlak: Bagaimana kongkktiynya serta perinciannya cara memukul dan menghancurkan musuh. Bila rahasia ini terbuka, maka revolusi akan mengalami kegagalan dan kerugian besar. Dan hal itu telah dialami PKI ketika rahasia besar dan satu-satunya diketahui oleh Suharto Bahwa PKI bernaksud menghancurkan musuh-musuhnya dengan peluru kertas, manifestasi dan protes, pidato-pidato, semboyan dan gertak sambal sebagai isi dan inti seluruh perjuangan mereka: merebut kekuasaan dengan jalan damai yang dihadapi Suharto dengan besi dan mesiu.
ASAHAN.
Hoofddorp, 21 Mei 2011.
__._,_.___
0
 
Selama akhir bulan Mei, menataplah rendah ke langit sebelah timur setelah gelap untuk menemukan konstelasi (perbintangan) Herkules - atau Herakles, sebagaimana orang-orang Yunani purbakala mengenal dia - yang mewakili orang kuat yang hidup selama-lamanya dalam mitologi Yunani. Herkules merupakan konstelasi kelima terbesar di langit, tetapi karena tidak berisi bintang-bintang yang cemerlang, tidak khas terkemuka. Bagaimanapun, apa yang lebih mudah diketemukan, adalah empat bintang yang membentuk empat persegi bengkak-bengkok atau "dasar keimanan" (keystone).
Dari tempat langit gelap, mengenal keystone Herkules dan kira-kira sepertiga jalan antara bintang-bintang paling barat laut dan paling barat daya untuk melihat suatu potongan  kecil cahaya. Anda mula-mula mungkin tidak melihatnya, maka cobalah suatu akal (muslihat) yang sering dipakai oleh para ahli astronomi. Daripada memandang secara langsung pada tempat ini, lihatlah agak sedikit pada sampingnya. Waktu tidak melihat secara langsung padanya, anda pasti lebih mudah melihat cahaya yang kabur .
Corengan yang tampaknya tidak berarti ini adalah salah satu dari ratusan kelompok bintang berbentuk bola yang dikenal di seluruh Bimasakti. Kelompok bintang berbentuk bola ini berisi ratusan atau ribuan bintang yang secara relatif tua, meloncat bersama oleh gravitasi, kekuatan yang sama yang menjaga kesatuan kita pada Bumi. Meskipun Herkules,yang dikenal pula sebagai M13, hampir tidak kelihatan bagi mata telanjang pada malam gelap yang cerah, tujukan suatu teleskop kecil pada arahnya dan akan terpesona oleh ribuan bintang anda dapat lihat dalam bentuk bola (bulatan).
Dan, jika di sana terdapat pengamat-pengamat bintang yang tinggal dalam M13, bayangkan apa yang mereka dapat lihat di langit mereka. Bintang-bintang akan muncul ratusan kali lebih terpusat daripada di bawah kondisi-kondisi di sini di Bumi, dan malam hari akan merupakan suatu pengalaman yang sangat jarang sekali dan menyejukkan tulang.
(selesai).
Terjemahan bebas artikel Newsday, Sabtu, 21 Mei 2011,
dan diberi beberapa anotasi seperlunya.
Semoga berkenan! Mohon maaf bila bikin capek.
Salam Lestari!
Sumar.
_._,_.___
0
 
Di Banten banyak orang pintar merasa hebat. Dia merasa cukup dengan berbekal ilmu di sekolahan bisa mengubah Banten. Mereka melupakan, bahwa di atas langit ada langit. Mereka tak memahami proses. Mereka memanfaatkan pilkadal sebagai arena untuk pembelajaran, sehingga rakyat membayarnya dengan mahal. Banyak orangorang dungu berkedok gelar. Saya ingat pesan Bapak, "Banten Iqranya masih sebatas di masjid. Sehingga banyak jawara yang lapar berujung jadi preman dan ulama berujung jadi penyembah penguasa." (Surabaya, sepertiga malam, 22 Mei)
__._,_.___
0
 
Teknologi untuk menakar ramalan magnetis nuklei atom bermula pada tahun 1930an. Tetapi memerlukan puluhan tahun bagi para ahli ilmu pengetahuan untuk memakainya guna pengobatan. Pada tanggal 9 Februari 1974, harian Times melaporkan dalam kolom Paten-paten Minggu Ini bahwa Dr. Raymond V. Damadian, seorang dokter dan ahli biofisika telah mematenkan suatu metoda untuk membedakan jaringan yang normal dari yang berpenyakit kanker dengan apa yang pada waktu itu dinamakan gaung (gema) magnetis nuklir.
Peralatan itu "masih sedang dikembangkan," kata artikel tsb, dan menyebut beberapa paten lain yang tercatat minggu itu, termasuk satu paten untuk semacam penutup tempat tidur dari katun (kapas) seluruhnya tanpa perlu diseterika. Pada tanggal 12 Oktober 1975, harian Times menggambarkan  salah satu spektometer N.M.R. sangat kuat, yang dibangun oleh universitas. Artikel tersebut tidak mengatakan apa-apa mengenai penggunaannya yang mungkin sekali dapat dipakai dalam diagnosa-diagnosa pengobatan.
Pada tanggal 21 Juli 1977, Dr. Damadian diberitakan lagi. Ia telah mengumumkan suatu teknik baru untuk menemukan kanker, menggunakan alat seberat satu setengah ton, 10 kaki tingginya diperlengkapi dengan apa yang ia namakan "magnet terbesar di dunia." Siaran persnya rupanya melebih-lebihkan sedikit, dan Dr. Damadian kemudian menarik kembali suatu anggapan bahwa tekniknya telah dipakai untuk menemukan jaringan yang berpenyakit kanker dalam seorang pasien yang hidup.
Pada akhir tahun 1978, teknik-teknik membayangkan lainnya - pengamat-pengamat positrom emission tomography (PET), computer tomographer (pengamat-pengamat CT atau CAT) - dan ultrasound sudah dipakai dalam manusia dan pada tanggal 14 November, artikel utama harian Times menggambarkan prosedur-prosedur yang baru. Menyebut resonance (gaung, gema) magnetis nuklir, dinikmati pada dua paragraf terakhir, yang dinamakan "salah satu metoda membayangkan yang terbaru, dan barangkali yang paling jauh dari penggunaan ilmu pengobatan klinis.
Tetapi dalam permulaan tahun 1980an, pengamat-pengamat magnetis sedang diselenggarakan pada manusia, dan rumah-rumah sakit mulai membeli alat-alat itu. Sewaktu mesin-mesin semakin luas dipakai, kata "nuklir" dalam namanya, menakutkan beberapa pasien yang berkesan terlibatnya radiasi nuklir. Suatu artikel pada tanggal 17 Maret 1985, menerangkan bahwa kini sebagian besar dokter menamakan prosedur-prosedur maupun mesin-mesin "magnetic resonance imaging," atau M.R.I. Untuk pertama kali harian Times memakai istilah yang diterima di seluruh dunia sekarang.
Pada tanggal 7 Oktober 2003, harian Times melaporkan bahwa Paul C. Lauterbur dan Sir Peter Mansfield telah memenangkan Hadiah Nobel dalam Fisiologi atau Ilmu Kedokteran untuk "penemuan-penemuan membayangkan dengan gema (gaung) magnetis," dalam kata-kata tanda penghargaan, yang "berperan mempunyai kemungkinan di masa depan dalam mengembangkan salah satu alat yang paling berguna dalam ilmu kedokteran sekarang."  Dr. Damadian memasang iklan satu halaman penuh dalam surat-kabar untuk mengeluh bahwa ia secara tidak adil ditiadakan Hadiah Nobelnya.
(selesai).
Terjemahan bebas dari suatu artikel di
harian setempat, Selasa, 17 Mei 2011,
dan diberi beberapa anotasi seperlunya.
Semoga berkenan! Mohon maaf bila
capek.
Salam Historia!
Sumar.
__._,_.___
0
Facebook 21 Mei 2011
 
 
Aidit Pelita Nusantara?
 
 
Catatan Dari Brussel
 
Oleh :
 
A.Kohar Ibrahim
 
 
 
SIAPA sesungguhnya D.N. Aidit? Salah satu sosok tokoh putera Indonesia terbaik ataukah monster? Kenapa dia dibunuh  begitu cepat?  Ada konstatasi, bahwa tujuan utama pembunuhan atasnya pada awal kudeta kaum militeris pimpinan Jenderal Suharto itu adalah dalam rangka untuk memadamkan gerakan dan pengaruhnya yang besar di arena perpolitikan Indonesia. Suatu aksi keji selaras garis kontra revolusi mondial pimpinan Amerika Serikat.
 
D.N. Aidit dibunuh begitu saja, dengan segala tuduhan yang amat keji yang me-monster-kannya. Tanpa proses pengadilan untuk mempertanggungjawabkan atau memberi penjelasan peran apa yang dijalankan di arena perpolitikan selama hidupnya. Dan peran apa dalam Peristiwa 30 Septermber 1965.
 
Benarkah D.N. Aidit itu personifikasi dari segala yang kejam keji lagi membahayakan rakyat, bangsa dan negara Indonesia? Dengan gerakan sosio politiko budaya yang dipimpinnya? Terutama sekali sebagai Ketua CC Partai Komunis Indonesia? Yang juga sebagai Menteri Negara Republik Indonesia?
 
Menilai orang  terutama sekali bukan dari omongannya, melainkan dari perbuatannya yang nyata. Begitulah halnya Aidit. Jejak langkah dan gerakan politik di bawah pimpinannya, terutama sekali PKI, belum terbuktikan telah beritikad jahat dan melakukan kejahatan atau apalagi kekejaman terhadap rakyat Indonesia seperti yang dituduhkan oleh lawan-lawan politiknya. Tuduhan seolah-olah, kalau Adit dan PKI-nya memegang kekuasaan politik di Indonesia, maka hanya kekejaman dan derita sengsara atau  malapetaka sajalah yang akan tiba.
 
Tuduhan itu seperti halnya ketakutan akan "hantu komunis" tidak terbuktikan. Yang telah terbuktikan akan kejam dan jahatnya membuat rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia menjadi amburadul dengan segala derita-sengsaranya justeru adalah  pihak yang memusuhi Aidit sekalian pendukung politik Bung Karno! Yaitu rezim Orde Baru pimpinan Jenderal Suharto dengan gerbong-gerbong pendorong politiknya.
 
Yang pasti, D.N. Aidit terutama sekali adalah putera Indonesia yang insan politik. Dengan jelujur benang-merahnya yang mengabdi wong cilik. Gerakan  yang dipimpinnya melingkupi  bidang kehidupan sosio budaya yang luas. Terbukti dari keluasan perhatian dan keterlibatannya dalam kehidupan, seperti pemuda, wanita,  buruh, tani, nelayan, intelegensia dan kebudayaan. Terbukti dari karya tulis berupa esei-eseinya mengenai beragam bidang kehidupan, dari falsafah, kemasyarakatan sampai kepada bidang kebudayaan. Seperti yang dipidatokannya dalam Konfernas Sastra dan Seni Revolusioner. Terbukti juga, dan ini yang menarik perhatian saya, dari seberkas karya puisinya.
 
Dalam kesempatan ini, bukan maksud saya untuk mempersoalkan falsafah, teori dan garis politik D.N. Aidit dengan PKI-nya. Dengan segala segi atau seluk beluknya, bukan saja yang saling berkaitan dengan kehidupan gerakan nasional, tapi juga gerakan internasional itu. Seperti Gerakan Komunis Internasional. Yang juga dengan segala macam ragam sekalian lika-lukunya.
 
Dalam kesempatan ini, saya hanya ingin mengangkat D.N. Aidit sebagai salah seorang putera Indonesia. Sebagai  insan politik yang bercita-cita tinggi. Sebagai manusia yang berjuang untuk memanusiakan manusia. Sebagai insan politik kiri yang nasionalis mengaspirasikan sosialisme bahkan komunisme di kemudian hari yang entah kapan! Tapi yang dalam kehidupan nyata dan dalam tindakannya, Aidit adalah pendukung garis politik Bung Kanro yang anti-feodalisme dan anti-nekolim demi mencapai kemerdekaan penuh dan sosialisme ala Indonesia.
 
Dengan sikap dan pendirian demikian teriring jejak-langkah kongkretnya itulah dia menjadi tokoh nasional sekaligus juga internasional. Yang selaras dengan nama yang disandangnya, yakni Dipa Nusantara Aidit. Pelita Nusantara. Terutama sekali sebagai pelita wong cilik alias massa luas rakyat Indonesia. Karena memang untuk itu dia telah berjuang sejak muda yang dimulai dari dan sebagai akar rumput. Dengan segala suka duka dan lika liku jalan perjuangan hidupnya. Dalam kaitan ini, ada baiknya apa yang kami utarakan dalam "Ziarah" ( Kreasi nomor 17) itu, berdasarkan bahan-bahan yang saya terima dari Sobron, sekalian ingatan saya sendiri, disimak sebagai bahan pertimbangan apa adanya.
 
Aidit dilahiran di Medan 30 Juli 1923. Ayahnya yang bekerja sebagai sebagai pegawai rendah di jawatan kehutanan Belanda  di Tanjung Pandan Belitung, berudaya upaya keras untuk menyekolahkannya ke Betawi pada tahun 1936. Pada usia 17 tahun Aidit mampu berusaha sendiri membiayai sekolahnya di Sekolah Dagang (Handelschool) dengan mendirikan Pustaka Antara.
 
Sudah sejak masa muda Aidit giat dalam gerakan kemerdekaan nasional  demokratis. Pada tahun 1939 menjadi ketua Persatuan Timur Muda, dan tahun 1940 menjadi salah seorang pemimpin GERINDO. Pada tahun 1942, tahun pertama pendudukan Jepang, Aidit terpilih sebagai wakil ketua Persatuan Buruh Kendaraan, salah seorang penyelenggara kursus politik "Generasi Baru" hingga 1943, pada saat mana ia menjadi anggota PKI bawahtanah.
 
Sebagai anggota pendiri gerakan anti fasis bawahtanah bernama GERINDON, pada tahun 1944 ia masuk Barisan Pelopor di bawah pimpinan Sukarno. Pada tahun 1945 aktip dalam Pemuda Angkatan Baru dan ambil bagian dalam peristiwa peristiwa penting menjelang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Aidit juga memimpin API cabang Jakarta. Kerna aktivitasnya itu ia ditangkap Jepang.  Kemudian berhasil meloloskan diri, meski segera tertangkap tentara Inggris (Sekutu) dan diserahkan kepada Belanda. Dibuang ke pulau Undrus, lalu dibebaskan berkat hasil perundingan antara penguasa pendudukan Belanda dan pemerintah Indonesia.
 
Setelah bekerja di CC PKI pada tahun 1946, Aidit terpilih sebagai anggota CC dalam Kongres Keempat PKI tahun 1047. Pada masa itu juga ia ditunjuk sebagai ketua fraksi komunis pada sidang sidang pleno KNIP. Pada tahun 1948, menjadi sekretaris dewan eksekutif Front Demokrasi Rakyat (FDR), organisasi gabungan yang terdiri dari Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Sosialis Indonesia (PSI), Partai Buruh dan PESINDO (Pemuda Sosialis Indonesia -- dalam mana Aidit sebagai anggota comite eksekutip).  Pada tahun yang sama ia terpilih sebagai  calon anggota kemudian anggota politbiro CC PKI, dan anggota sekretarisnya. Aidit mendukung Musso dalam pembangunan kemabli partai menurut garis "Jalan Baru".
 
Setelah Peristiwa Madiun (September 1948), selama beberapa bulan Aidit melawat ke luarnegeri: di Vietnam ia berjuang bersama-sama Vietminh, dan di Tiongkok, di mana, dalam bulan Nopember 1949 ia bersama Lukman menghadiri Konferensi Serikat Buruh Australia-Asia yang dilangsungkan di Peking. etika kembali ke Indonesia tahun 1950, dalam usia 27 tahun, Aidit menikah dengan seorang dokter wanita bernama Tanti dengan siapa ia memperoleh lima anak.
 
Dalam pada itu Aidit bertugas di bagian agitprop politbiro, terutama pengelolaan majalah duabulanan "Bintang Merah".  Dengan mana bersama-sama Lukman, Nyoto dan Peris Pardede, ia memberi pengarahan baru yang kritis sekali terhadap pimpinan PKI. Tendensi ini segera mewujudkan diri, dan pada 7 Januari 1951, CC baru terpilih dan politbiro baru memimpin PKI: 5 anggotanya adalah Aidit, Lukman, Nyoto, Sudisman, Alimin. Aidit menjadi sekretaris pertama CC dan atas kebijaksanaannya PKI menerima politik Front Persatuan Nasional.
 
Sesudah berlangsungnya tindakan anti-komunis pemerintahan Sukiman dalam bulan Agustus 1951 -- saat ia dan kawan-kawan lainnya mesti meneymebunyikan diri demi terhindar dari ancaman bahaya -- pada bulan April 1952 Aidit mengambil kebijaksanaan agar supaya PKI mendapat dukungan massa seluas mungkin. Dalam sidang pleno CC Oktober 1953 Aidit terpilih sebagai Sekretaris Jenderal dengan wakil-wakilnya Lukman dan Nyoto. Kedudukan ini dipakukan dalam Kongres Ke-V PKI bulan Maret 1954.
 
Garis kepemimpinan Adit untuk mendapatkan dukungan massa yang luas ternyata membawa hasil yang positip dan terbuktikan dalam pemilu 1955. PKI keluar sebagai salah satu pemenang besarnya. Maka kita jadi segera memahami, kenapa pada masa itu Aidit menulis sajak masing-masing berjudul "Lumpur Dan Kidung" (Jakarta, makam 27 Januari '55):
 
 
Lumpur Dan Kidung
-- Hanya inilah jalannya --
 
sepatu setengah usang membenam dalam lumpur / menuju teratak
air menetes dari atap / membasahi kekayaanku yang paling berharga
pengalaman jerman inggris perancis rusia / tiongkok dan banyak lagi
hasil pemikian putera-putera dunia terbaik / temanku nyenyak kembali setelah membuka pintu / kesunyian di luar membantuku
makin dalu makin jauh tenggelam / ingat aku akan sumpah setia pada ajarannya
kokok ayam jantan tak mengagetkan / siang dan malam sama saja
jalan yang ditunjukkannya selamanya terang / kita pasti akan sampai ke ujung jalan ini
dimana tak ada sepatu usang / dimana tak ada lumpur membenas
dimana tak ada teratak bocor / tapi hanya inilah jalannya
 
Coba perhatikan pula betapa perhatian dan keyakinan akan gerakan dan organisasi yang dipimpinnya, sekalian optimisme bagi haridepannya, seperti yang diungkap-sajikan dalam sajak  "Kini Ia Sudah Dewasa" (menyambut ulang tahun ke-35 PKI, 23 Mei 1955) seperti berikut:
 
35 tahun yang lalu / Ia lahir / dengan kesakitan / Klas termaju / sebagai anak zaman / yang akan melahirkan zaman
Ia tahan taufan / dan tak lena karena sepoi / ia menyusup di hati rakyat / lebih dalam dari laut Banda / Ia menghias hidup / lebih indah dari sunting cempaka
Ia dihidupkan oleh hidup / tahan teror dan provokasi / dulu, sekarang dan nanti / Ia Antaeus, anak Poseidon / tak terkalahkan selama setia pada bumi / Ia anak zaman yang akan melahirkan zaman / Kini ia sudah dewasa.
 
Begitulah muatan perasaan dan pikiran serta imajinasi Aidit yang dituangkan dalam bentuk puisi berupa sajak yang ditulisnya tahun 1955. Selaras situasi dan kondisi kehidupannya sekalian kehidupan organisasi yang dipimpinnya sendiri: PKI.  Salah satu partai politik yang mendapat dukungan yang besar dari pemilu 1955 itu.
 
Sebagai kelanjutan dari hasil pemilu pertama itu, Aidit menjadi anggota Parlemen dan anggota Konstituante (dibubarkan tahun 1959). Dari pengalamannya duduk di kursi institusi resmi, menghadiri sidang-sidang lembaga negara, maka dari kesaksiannya itulah antara lain dia menyusun sajak berjudul "Tembok Granit" (kepada "Dewan-dewan Partikelir" dalam Munas) pada tanggal 15 September 1957, seperti berikut:
 
Dengan ujung bayonet itu / kau naikkan sikepala batu / duduk bersama rakyat dan aku / Kau harap dapat menghambat / sejrah yang jalannya cepat / tak tahu kaulah yang kan kiamat
Kau mau ulangi cerita usang / tentang Negro empatlapan / tentang Magelang dan Ngalian / kau lupa Amir dan Haji Bakri / lupa para petani bagi-bagi tanah / di Wonogiri dan Boyolali
Derap sepatu sejarah / akan injak-injak sikepalabatu / dan bayonet itu akan patah / tembok granit lebih keras / dari tengkorak batu / tembok granit rakyat bersatu.
 
Muatan politis baris-baris sajak tersebut memang kental sekali. Karena yang diungkapkannya adalah peristiwa-peristiwa yang mencengkam berbau trali besi, keringat dan darah rakyat sekalian pemimpin-pemimpinnya yang mesti berhadapan dengan ancaman maut kaum "kepalabatu" dengan "dewan-dewan partikelir"-nya. Yakni kaum militeris yang merongrong persatuan bangsa dan kesatuan  negara Republik Indonesia. Dengan politik pecah belah sampai pada pemberontakan-pemberontakan separatisnya yang mendapat dorongan dari kekuatan kaum nekolim.
 
Sebagai sosok tokoh nasionalis sekaligus internasionalis yang menyandang nama Pelita Nusantara, menghadapi situasi demikian Aidit semakin konsekwen berjuang dengan memberi dukungan pada garis politik Presiden Sukarno. Yang juga telah dengan sukses menjadi tuanrumah bagi terselenggaranya Konferensi Bandung (1955) dan mendapat julukan kampiun gerakan kebangkitan bangsa dan rakyat Asia-Afrika dalam perjuangannya untuk membebaskan diri dari belenggu kolonialisme dan imperialisme. ***
 
Catatan :
Naskah ini dari Kumpulan Esai CdB – Catatan Dari Brussel – yang  saya susun dalam tahun 2003-2004, telah disiar beberapa media massa. Saya siar ulang sebagai pelengkap dari naskah berjudul ZIARAH – Kreasi N°17 yang disiar ulang Facebook 21 Mai 2011. Sebagai pengganti isi Biodata dari tiga penulis bersaudara Asahan-Sobron-DN Aidit tersebut.
 
 
 

__._,_.___
0
 
Gema Terbitan Orang Orang Pinggiran :
Z I A R A H
Kumpulan Sajak Cerpen
Asahan –Sobron--DN Aidit
Majalah Sastra & Seni
KREASI n° 17 Th 1994
Editor:
D. Tanaera alias A.Kohar Ibrahim
*
ISI:
Dari Penyaji: Ziarah – oleh D.Tanaera alias A.Kohar Ibrahim
Belasungkawa untuk Aidit – sajak Mao Zedong
Sajak Sajak DN Aidit:
Lumpur dan kidung, Kini ia sudah dewasa, Tembok granit,
 Yang mati hidup abadi, Raja naik mahkota kecil,
Kidung dobrak salahurus, Hati dibakar cinta.
Cerpen Cerpen Sobron Aidit:
Bang Amat, Cabin Boy, Razzia Agustus, Ziarah.
Sajak Sajak Asahan Aidit: Ziarah I – IX.
*
Dari Penyaji:
Z I A R A H
Oleh Editor D.Tanaera Alias A.Kohar Ibrahim
 
Asal mula?
DALAM waktu hampir bersamaan sampai dua naskah masing-masing dari Perancis dan Belanda – yang satu berupa sajak, sedang yang lainnya cerpen dengan judul serupa: Ziarah. Kesamaan lainnya, kedua penulis itu menyandang nama keluarga yang tak mungkin sirna dalam sejarah bangsa Indonesia – sekalipun ada usaha untuk itu – yakni  A I d I t .
Saya lantas teringat kepada Aidit lainnya, yang telah meninggal dunia itu, yang selain sebagai penulis esei sospolekbud juga menulis sejumlah sajak. Maka begitulah lahirnya rencana penerbitan kumpulan bersama dari tiga bersaudara itu.
Maksud tujuan?
SEBAGAI kelanjutan untuk memberi sumbangan sajian kreasi  seni  dan opini, memperkaya kepustakaan dan dijadikan bahan pertimbangan bagi tersusunnya sejarah budaya dalam arti yang luas. Sejarah yang utuh dan yang benar, bukannya yang dipenggal-penggal dan yang dipalsukan sebagai mana yang terjadi di bawah rezim Orde Baru.  "Sejarawan Indonesia telah membunuh tokokh-tokoh sejarah", kata Dr Abdurrachman Surjomihardjo. Dalam pada itu, kiranya patut direnungkan ucapan sejarawan lainnya, yakni Dr Taufik Abdullah:
"Hendaknya kita sadar benar, bahwa munculnya pemerintah yang disebut Orde Baru ini, adalah di atas puing-puing tragedi nasional yang luar biasa." (DeTIK 15 Februari 1994).
Pernyataan kedua sejarawan tersebut sungguh berkenaan dengan tema penerbitan "Ziarah". Ziarah bukan saja terhadap Aidit, tetapi juga sejuta manusia yang melayang jiwanya dalam tragedi nasional itu.
Bagaimana hal itu bisa terjadi?
TIDAK lain kecuali akibat peristiwa yang merupakan puncak pertikaian politik di kalangan kaum militer pada 30-September-1-Oktober-65. Akibat keunggulan komplotan kekuatan militer kanan dengan kekuatan nekolim atas kekuatan kiri untuk mendominasi kekuasaan sejak berdirinya Republik Indonesia. Dalam peristiwa itu 6 jenderal dan 1 perwira terbunuh – dibunuh oleh kaum militer. Jelasnya oleh pasukan-pasukan "Gerakan 30 September" yang dikepalai oleh Letkol Untung.
Setelah gerakan Letkol Untung dalam waktu beberapa jam saja diungguli gerakan militer lainnya yang dikepalai Letjen Suharto, maka situasi itu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh kekuatan anti-komunis dalam dan luar negeri. Terutama sekali seperti yang diungkap mantan agen CIA Ralph Mac Gehee (15 tahun kemudian ! ) mengenai peranan Amerika dalam pembantaian missal 1965-1966.
"Semula, tentara Indonesia tidak menyangkutkan PKI, karena partai itu tidak terlibat dalam percobaan kudeta itu," kata Mac Gehee yang dikutip majalah Afrique-Asie 1981, "namun CIA memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menghancurkan PKI".  Bagaimana caranya? Salah satu contoh, menurut Mac Gehee, cara yang mengerikan yang dipersiapkan CIA adalah: "Foto-foto mayat para jendral yang terbunuh itu – yang telah dalam keadaan membusuk – disiarkan lewat suratkabar  dan televisi. Komentar yang menyertai foto-foto itu memberi kesan seolah-olah para jendral tersebut telah dicincang dan dicungkil matanya oleh wanita-wanita komunis. Propaganda yang dibuat-buat secara sinis itu dimaksudkan untuk mengobarkan kemarahan umum terhadap kaum komunis dan agar bertindak untuk melakukan pembantaian missal."
Maka terjadilah, seperti antaralain diuraikan Ruslan Widjajasastra selaku saksimata sekalian korban rezim Orde Baru:
"… Di dalam rapat-rapat umum secara terang-terangan massa didorong untuk menjalankan tindakan-tindakan terror. Misalnya dalam rapat-rapat umum pembicara berteriak-teriak "untuk setiap jendral diganti dengan 100.000 komunis". Sebagai akibat dari kampanye jahat yang tidak bertanggungjawab itu telah timbul tindakan-tindakan biadab terhadap anggota-anggota PKI dan khususnya anggota-anggota Gerwani telah mengalami perlakuan-perlakuan yang sadis."
"Apa akibatnya mudah diduga," lanjut Ruslan Widjajasastra. "Di bawah perlindungan alat-alat Negara, yang tanpa persetujuan dari  atasannya yang anti-komunis tidak mungkin mereka berani bertindak, maka kelompok pendukung jendral-jendral kanan AD mulai mengganas di mana-mana. Ratusan ribu komunis dan non-komunis, laki-laki, wanita, pemuda, ya – bahkan anak-anak telah menjadi mangsa kebiadaban luarbiasa. Perlakuan-perlakuan sadis, siksaan-siksaan takterperikan di luar batas perikemanusiaan menyertai pembunuhan-pembunuhan massal.  Satu keluarga dibunuh habis (ayah dan anak-anaknya); seorang ibu baru melahirkan – dibunuh; seorang wanita dengan menggendong anaknya dibunuh di pinggir kali dan banyak korban lainnya telah dihabisi nyawanya di situ juga, maksud para algojonya supaya tidak perlu menggali lubang kubur. Di Jatim orang digantung di pepohonan, kepala orang dipamerkan di pasar-pasar atau disandarkan di pohon di pinggir jalan, ada yang dibunuh secara pelan-pelan dengan memotongi anggota-anggota badannya satu demi satu; orang tua dipaksa melihat anaknya dibunuh sebelum dirinya sendiri dihabisi nyawanya. Di Jogya korban-korban diharuskan terjun kedalam satu parit yang terkenal dengan nama luweng di pantai selatan Jogya. Di satu penjara pasukan-pasukan pemerintah yang luarbiasa anti-komunisnya memerintahkan tahanan-tahanan terjun dari suatu platform dengan kepala di bawah.  Dan bahwa masih ada korban-korban itu yang tetap  hidup adalah suatu keajaiban belaka. Kemaluan laki-laki dipotong sebagai bukti untuk menentukan jumlah uang yang harus dibayar kepada algojo. Bahwa pembantaian terhadap kaum komunis dan non-komunis bukannya suatu ekses biasa, tetapi suatu perbuatan yang sedar dan berencana dapat dilihat dari bahwa di mana-mana diseluruh tanahair yang menjadi sasaran pembunuhan adalah, disamping massa biasa adalah pemimpin-pemimpin PKI setempat sampai ke desa-desa, pimpinan organisasi-organisasi revolusioner dan juga anggota lembaga-lembaga pemerintah daerah (DPRD-BPH), juga bisa dilihat dari sistim bon-bonan terhaap orang yang sudah ditahan yang biasanya dianggap anggota PKI yang penting dan tak jarang bon-bonan ini melalui tawar-menawar tentang jumlah uang yang harus dibayar untuk membeli jiwa orang yang hendak dijadikan korban yang dilakukan antara penguasa militer setempat dengan pihak reaksi. Masih banyak lagi bentuk-bentuk pembunuhan yang sadis. Di banyak tempat korban-korban dimasukkan sungai atau laut dengan diberi batu (bandul pemberat) sehingga dapat tenggelam sampai ke dasar. Tetapi banyak juga yang sesudah dibunuh dilemparkan begitu saja di sungai-sungai seperti Bengawan Solo, kali Berantas, Musi dll; dilemparkan ke jurang-jurang. Bahwa ada kesengajaan untuk membunuh bisa juga dilihat dari mereka yang tanpa proses pengadilan telah ditembak oleh penguasa militer setempat; bisa dilihat dari nasib tahanan-tahanan yang sudah ada dalam tahanan pemerintah waktu itu. Para tahanan dengan sengaja hampir tidak diberi makan, sehingga akibatnya sesudah sekian hari atau minggu para tahanan mati kelaparan. Di Sumatera Selatan misalnya tahanan hanya diberi 40 butir jagung untuk selama 24 jam dan akibatnya 90% tahanan mati. Dengan jalan beginilah banyak tahanan lainnya di Jawa dll kepulauan menjadi mati kelaparan. (Penjara Kalisosok Surabaya, Salemba Jakarta, Tanggerang dll). Di Salemba sampai tahun 1969 masih terdapat korban mati kelaparan. Bahwa pembunuhan-pembunuhan berselubung ini sampai sekarang masih berlangsung bisa dibuktikan dari perlakuan yang dijalankan terhadap tahanan-tahanan dimana misalnya diberbagai kamp tahanan masih terdapat tahanan-tahanan yang hanya diberi makan 10 sampai 25 sendok makan sehari; bergroting untuk tahanan hanya Rp 25,- seorang termasuk biaya pengobatan. Sebagai akibat dari keganasan terror itu, yang dilakukan atau dibawah lindungan atau langsung juga oleh pasukan-pasukan tertentu dari pemerintah, diberbagai tempat telah terjadi bahwa seluruh kader setempat mati terbunuh, ada yang separo terbunuh. Kita mencatat pembunuhan yang paling besar misalnya di Jatim, Jateng dan Bali." (Pembelaan Ruslan Widjajasastra 22 Juni 1974 hlm 25-26).
Sehubungan  dengan tragedi 1965-1966 itu, seorang demokrat berjiwa besar, pemimpin NU Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa, "Dikala itu sebanyak setengah juta sampai dua juta orang telah dibunuh, hampir semuanya tidak bersalah. Peristiwa tragis itu tidak bisa dibela. Ia harus mencekam kesadaran nasional kita, seperti halnya dengan pembantaian yang dialami orang-orang Yahudi … Anggota-anggota Ansor bertanggungjawab terhadap pembunuhan-pembunuhan itu. Saya menyayangkan bahwa masih banyak orang NU yang membanggakannya. Pembantaian sejuta orang tidak bisa dikatakan heroik. Karena itu kita harus memiliki demokrasi untuk dapat menyelidikinya." (Vrij Nederland, 6.6.1992).
Sampai detik ini para algojo atau pemimpinnya bukan saja tidak menyesali perbuatan keji mereka malah membanggakannya, sekalipun dimulut komatkamit Pancasila dan Hak-hak Asasi Manusia. Prof.Dr. W.F. Wertheim pernah mengkonstatasi: "Di dalam otobiografinya, Suharto samasekali tidak menunjukkan tanda, bahwa ia menyesali terhadap jatuhnya korban rakyat sebanyak setengah atau sejuta. Justru sebaliknyalah, terhadap prajurit-prajurit pembunuh pun ia tidak mencela perbuatan mereka. Misalnya dalam hal kolonel  Jasir Hadibroto, dalam Kompas Minggu 5 Oktober 1980 ia menceritakan pengakuannya kepada Suharto, yaitu bahwa dia telah membunuh ketua PKI DN Aidit tanpa keputusan pengadilan. Dengan jalan demikian Aidit tidak bisa membela diri di depan sidang pengadilan, dan karenanya pula penguasa dengan leluasa dapat menyiarkan 'pengakuan' Aidit yang palsu. Kolonel ini justru dihadiahi Suharto dengan kedudukan sebagai gubernur Lampung. Dalam hal ini tentu saja Suharto sendirilah yang bertanggung jawab. Karena pembunuhan itu hanya terjadi sesudah Jasir Hadibroto menerima perintah dari Suharo yang, menurut Jasir, mengatakan: 'Bereskan itu semua!' " (Sejarah Tahun 65 Yang Terselubung – ceramah Prof.Dr. W.F.Wertheim 23 September 1990 di Amsterdam hlm 10).
John Gitting dalam laporannya yang dimuat The Guardian Minggu 8-9 September 1990, a.l. menjelaskan kekejaman algojo di Bali yang bahkan sampai meminum darah para korbannya.
"Pembantaian yang diperingati secara resmi," tulis John Gotting menandaskan, "adalah yang terjadi pada 30 September 1965 malam atas diri 6 jendral dan seorang perwira yang ditangkap dalam kup dan tubuhnya dimasukkan ke dalam sumur di dekat lapangan terbang Halim di pinggir kota Jakarta. Di Lobang Buaya itu kini terdapat suatu monument di lapangan terbuka yang sesuai dengan versi resmi membenarkan tindakan tentara dalam melancarkan pembasmian komunis, dan melapangkan jalan bagi berkuasanya Jendral Suharto… Monumen bagi ketujuh korban itu meliputi beberapa hektar padang rumput. Sebaliknya ratusan dari ribuan korban yang mati di Bali … dan seluruh korban di Jawa tidak ada makamnya sama sekali."
Salah seorang korban yang tak bermakam itu adalah Dipa Nusantara Aidit – Ketua CC PKI. Namun, bermakam ataupun tidak, hal itu tidak akan membataslkan hasrat anggota keluarga atau  siapa saja untuk  b e r z i a r a h . Terhadapnya dan juga terhadap segenap korban kezaliman.
 
Secara umum demikianlah maksud kita.
AKAN halnya isi penerbitan ini, kami sajikan sajak Mao Zedong sebagai "pendahuluan". Sedangkan ketiga penulis masing-masing membuktikan kesamaan sekaligus keberbedaannya. Kesamaan keberbedaan keluarga, usia, aktivitas dan kreativitas mereka.
Kepada segenap pembaca, kami serahkan penilaian terakhir.
S e l a m a t !
Erobar, Mei  1994.
D.Tanaera
*
Catatan:
(1)."Ziarah" – kumpulan sajak dan cerpen Asahan-Sobron-DN Aidit, edisi spesial Majalah sastra & Seni Kreasi n° 17 1994, ISSN -0923-4934, Penerbit Stichting Budaya, Amsterdam. Editor: D.Tanaera alias A.Kohar Ibrahim.  D.Tanaera -  salah sebuah pen-name A.Kohar Ibrahim yang bisa dibaca: Dipa Tanahair Rakyat.
(2).Tulisan ini saya siarkan, selain sebagain penegasan sikap-pendirian mendasar  untuk membela kebenaran dan keadilan, sekalian juga sebagai bahan pelengkap info atau pertimbangan bagi pembaca umumnya, khususnya generasi muda Indonesia.
(3).Disiar selain via sarana Facebook, juga blog situs internet lainnya, seperti  ABE-Kreasi Multiply Site dsb. Facebook: 21 Mai 2011.
***
__._,_.___
0
 
 PRAM
Pramoediya Ananta Toer (1925 - 2006) saya lihat sosoknya yang pertama kali  kalau tidak salah di tahun 1954 di Gedung Pertemuan Umum - Jakarta yang sedang menyelenggarakan Pekan Buku. Ketika itu saya bersama Sobron yang juga turut "menjaga"  bukunya yang dipamerkan yang juga berjejer dengan buku-buku Pram. Juga Ajip Rosidi yang  saya kenal karena pernah satu sekolah di Taman Siswa tampak dalam pameran Pekan Buku waktu itu. Yang menarik untuk saya pada waktu itu adalah Pram dan Sobron baru berkenalan dengan dua orang gadis dua beradik yang bernama Maimunah Thamrin yang turut sebagai "penjaga"buku yang selanjutnya Maimunah menjadi istri Pram sedangkan adik Maimunah hanya pernah jadi pacar Sobron. Kedua adik beradik ini  memang cantik dan pengalaman-pengalaman romantik mereka saya ketahui dari cerita-cerita Sobron selama masa berpacaran mereka.
Selamjutnya Pram kadang-kadang saya lihat di jalan Cidurian 19 sebagai pusat pertemuan orang-orang Lekra yang itupun setiap saya diajak Sobron ke sana yang juga di sanalah saya bertemu dengan Agam Wispi dan Benny Tjung. Saya sendiri tidak pernah masuk Lekra meskipun waktu itu saya telah mulai mengirimkan puisi-puisi saya ke beberapa majalah. Pertemuan saya yang terahir dengan Pram adalah di tahun 1999 di rumah penyair Mawie Ananta Jomie di mana Pram kami minta mengadakan ceramah atau ngobrol sesama para sastrawan Indonesia yang menjadi eksil di Belanda maupun di Eropah lainnya. Pram ketika itu dalam perjalanan pulang dari beberapa negara seperti Amerika yang mengundangnya dan kemudian mampir ke Belanda. Di sinilah saya pertama kali berdialog dengan Pram secara langsung ketika usia saya sudah cukup lanjut.
"Kasihan si Pram itu, dia itu sombong nggak punya teman". Begitulah yang pernah dikatakan oleh Ajip Rosidi tentang Pram kepada saya jauh sebelumnya. Ajip memang tidak pernah punya hubungan yang mesra dengan Pram meskipun dia membantah kalau saya katakan Pram itu musuhnya Ajip yang selalu dia jawab"Siapa bilang Pram musuh saya" walaupun ia hampir selalu negatif bila bicara tentag Pram.Tapi saya punya kesan lain tentang Pram. Mungkin Ajip punya sedikit kebenaran. Pram memang tampak kurang komunikatif terhadap lawan bicaranya atau teman-temannya dan nampaknya, itu adalah sifat dia. Tapi bila dia sudah bicara, akan cepat terasa antusiasme dan kehangatannya terhadap teman bicaranya. Tapi jangan diharap dari Pram pertanyaan-pertanyaanya bagaimana kabar atau segala sesuatu mengenai pribadi lawan bicaranya. Diplomasi  atau sopan santun keakraban demikian tidak akan keluar dari Pram.Tapi di situ pula tampak salah satu kepribadian Pram yang terasa jujur, tidak suka basa basi, formalitas banal yang dia anggap semua itu hanya membuang-buang waktu dan dibikin bikin. Mungkin dari ciri-ciri Pram yang demikian yang membuat Ajip punya kesan Pram itu sombong dan tidak punya teman. Padahal sesungguhnya Ajip sendiripun sedikit banyak punya sifat-sifat dan pembawaan seperti Pram itu hanya saja dia merasa banyak teman dan sesungguhnya juga Ajip sendiri tidak kurang sombongnya dari kesombongan yang dia tuduhkan pada Pram. Tapi juga Ajip cukup sering mengatakan kepada saya bahwa dia menyokong Pram agar meraih hadiah Nobel dan ketika saya tanyakan padanya mengapa, Ajip menjawab Pram itukan milik Indonesia terlepas saya suka atau tidak suka. Dan bukan hanya Ajip yang menyokong Pram tapi juga Prof. Dr. A. Teeuw menyatakan dukungannya agar Pram memenangkan hadiah Nobel  yang dalam pada itu, di masa lalu antara Pak Teeuw dan Pram pernah terjadi perdebatan sengit meskipun  pada ahirnya Pak Teeuw menulis buku tentang Pram dan memberikan sikap pernilaiannya yang tinggi terhadaap karya-karya Pram. Tapi dalam kenyataan, Pram tidak meraih hadial Nobel hingga ahir hayatnya yang banyak sekali orang-orang menyayangkannya. Pram yang dinominasi beberapa kali sebagai calon penerima hadiah Nobel ahirnya cuma hampir-hampir dapat yang diahiri tidak dapat. Mengapa?. Semua orang bisa menjawabnya dengan bermacam variasi dan perbedaan. Tapi kita tahu Komite Nobel adalah  kepunyaan orang Barat, orang Eropah yang punya cara penilaiannya sendiri tentang mutu sastra yang mereka aggap pantas menerima hadiah Nobel. Salah satu kriterium mereke adalah sifat universil dari karya sastra yang itu kadang -kadang menentukan. Kalau kita membaca karya-karya Pram, barangkali hanya Pramlah di antara sastrawan Indonesia yang paling tipis muatan nasionalismenya terutama nasionalisme Jawa. Untuk itu memang Pram sedar dan membatasi diri dengan Jawa centris maupun Indonesia centris dalam karya-karyanya. Pram tidak terlalu asik dengan para tokoh-tokoh dalam dunia perwayangan ataupun mengisahkan adat istiadat etnisnya hingga puluhan lembar atau memasukkan ratusan kata-kata bahasa Jawa dalam tulisannya. Tapi Pram berbuat begitu bukanlah karena dia bersiap-siap untuk mendapatkan perhatian dari orang-orang Komite Nobel. Dan agaknya usaha Pram yang sudah maksimum itu belunn cukup optimal bagi orang-orang Komite Nobel. Apakah universalisme dalam karya-karya Pram belum benar-benar berdominasi?. Tentang itu mungkin agak sukar menjawabnya. Nilai-nilai universil dalam sastra tidak selalu mudah dijejelkan begitu saja. Setiap sastrawan terikat dengan tanah berpijak mereka dan menuliskan kisah-kisah tentang manusia, bunmi dan masyarakat di mana mereka bertanah air. Jadi sudah tentu jawabannya bukanlah "sastra tidak bertanah air" untuk mendapatkan nilai-nilai universil secara optima forma. Sastra tetap saja bertanah air meskipun  para sastrawannya mungkin sudah kehilangan tanah air mereka oleh berbagai sebab. "Sastra yang tidak bertanah air"akan mengambang di udara, tidak punya tanah pijakan dan melambung ke abstrakisme semata yang akan menjemukan dan bukan itu yang dimaksudkan orang-orang dari Komite Nobel. Tapi warna nasionalisme yang tebal dalam sastra, juga tidak mendapat tempat  untuk nominasi hadiah Nobel.
Ketika dalam suatu pertemuan sastra yang diorganisasi oleh PASAR MALAM PARIS, seorang pengunjung bertanya kepada saya yang sedang duduk di podium, katanya: "Kalian sudah tidak tinggal di Indonesia, sudah terpisah dengan masyarakat Indonesia begiti lama, apa yang kalian bisa tulis tentang Indonesia?".Sebuah pertanyaan agressif tapi juga menarik dan  pertanyaan itu saya jawab dekikian: "Karena kami menganggap Indonesia adalah tanah air kami atau paling tidak, pernah menjadi tanah air kami, karenanya sastra yang kami tulis adalah sastra yang bertanah air dan hubungan kami dengannya tidak terputus meskipun terpisah secara fisik".Tapi harus diakui untuk menguniversilkan sastra yang bertanah air menjadi milik kermanusian ,  adalah sangat tidak mudah karema itu menyangkut puncak tertinggi pemikiran manusia, pengamatannya terhadap kehidupan sekelilingnya, dan juga motivasinya, penganalisaannya, ideologinya , pandangan politik dan filsafatnya yang kembali akan dicerna  oleh para pembaca mereka dalam karya-karya yang mereka tulis. Dan bila hal itu tercapai dan berhasil maka para pembaca akan merasa, ah, ini masaalah kita bersama, kisah-kisah kita bersama yang mudah kita kenali meskipun dikisahkan secara berbeda dan di tempat yang berlainan dan oleh bangsa yang berlainan.
Pram sangat banyak menulis tentang pengalamannya, memoarnya selama hidup sebagai tahanan politik suharto di Pulau Buru. Tapi Pram tidak pernah menghasilkan sebuah novel-pun tentang Pulau Buru, sebuah pulau  dengan isi para tahanan politik yang sangat dikenalnya selama belasan tahun . Kita lalu boleh bertanya : mengapa? , Bahkan pertanyaan demikian pernah diajukan oleh seorang kader tua wanita yang cukup terkenal Franciska Fanggidae dalam sebuah pertemuan sastra di Almere-Belanda: "Mengapa bung tidak menulis roman pulau Buru?". Seingat saya jawaban Pram kira-kira sama dengan jawaban  atau reaksinya terhadap permintaan maaf Gus Dur yang dibilanng Pram secara spontan: "Mudahnya meminta maaf" yang membikin iritasi untuk Goenawan Mohamad. Dan jawaban Pram di Almere, juga hampir sama dengan yang diberikannya pada Gus Dur. Katanya: "Mudahnya mengharapkan membikin roman". Dalam banyak hal Pram sering melemparkan kejujuran dan spontanitasnya. Memang tidak mudah membikin roman dan Pram bukanlah master fiksi meskipun karya-karya non fiksinya mempunyai nilai master besar, master dunia yang itu tidak bisa diragukan. Pram memang menulis karya besar roman sejarah, namun roman sejarah tetap saja tidak temasuk roman fiktif meskipun dalam roman sejarah bisa kemasukan elemen-elemen fiktif yang bahkan hingga cukup berdominasi tapi sebagai salah satu jenis roman, roman sejarah tetap saja bukan roman yang biasa. Dalam roman biasa atau roman fiktif, nilai sastra adalah sebagai komponen terpenting yang harus dipunyainya.
ASAHAN.
Hoofddorp-Belanda 18 Mei 2011.
0
 
Memoar
(juga sebagai jawaban atas surat
bung Hinu E.Sayono yang baik)
                                           UNIVERSITAS NEGARA "LOMONOSOV"
                                        Moskovsky Gosudarstvennei Universitet (MGU)  
Menamatkan sebuah Universitas, mestinya sebuah kebahagiaan. Tapi untuk saya kebahagiaan itu menjadi terbelah dua karena saya tidak bisa kembali ke negeri sendiri karena peristiwa politik waktu itu di Indonesia. Secara instink saya sudah merasakan bahwa diploma  universitas yang masih hangat di tangan saya akan cuma secarik kertas tidak berharga yang tidak seorangpun berminat untuk melihat dan menghargainya. Dan itu bukan hanya sekedar ramalan. Tapi setengah kebahagiaan yang masih tersisa pada diri saya tentu tidak akan saya buang begitu saja. Secara pribadi saya tidak meraih prestasi gemilang yang gemerlapan, tidak ada yang bisa saya banggakan. Tapi saya bangga karena saya telah belajar di negeri Sosialis pertama dan terbesar di dunia. Saya mengenal ibu kota negeri sosialis yang terkenal di dunia: MOSKOW dan meratainya di sela-sela waktu libur, bolos kuliah, mengenal jalur lalu lintas metro di bawah tanah yang terbesar di dunia dengan puluhan stasiun-stasiun metro yang bagaikan istana indah dan gemerlapan, mengunjungi banyak gedung-gedung opera, konsert, komidi, sirkus dan taman-taman besar yang dipunyai kota Moskow dan bahkan hingga restoran-restorannya yang terknal seperti restauran "BAKU"dan restauran "PEKING"dll. Untuk semua itu saya tidak perlu menjadi seorang milyuner atau anak seorang kaya raya yang bersekolah di Moskow dan cukup sebagai mahasiswa biasa yang berani mengurangi sebagian kegiatan-kegiatan kuliah dan menggunakan waktu tsb untuk mengenal Moskow bersama isinya. Moskow adalah kota dengan kendaraan umum yang paling murah di dunia dari mulai Metro, tram, bus, kereta api, pesawat terbang dll-nya. Dengan bermodal 5 rubel ketika itu (uang saku mahasiswa asing 90 rubel = satu setengah kali lebih besar dari gaji seorang dokter) saya bisa masuk gedung konsert  dan ketika istrirahat bisa beli sandwicht dengan telor kaviar yang paling enak dengan harga 1 rubel (sekarang paling tidak 10 euro).
Selama lima tahun kehidupan mahasiswa saya, saya nikmati sebagian besar untuk mengenal Moskow dan kehidupan kebudayaannya. Kebudayaan sosialis yang sekaligus kebudayaan dunia, kebudayaan manusia. Tapi sayangnya berahir dengan tertutupnya pintu kembali ke tanah air. Dengan bermodal surat dari Kementrian Pendidikan Tinggi  dan Pengajaran(seperti Kementrian PP dan K di Indonesia) saya bersama seorang teman mahasiswa yang baru tamat lainnya memasuki Gedung Universitas Negara Moskow "LOMONOSOV" untuk melanjutkan pelajaran sebagai mahasiswa Post Graduate. Siapa yang tidak mengenal nama Universitas yang paling bergengsi di Uni Soviet waktu itu (paling tidak di Uni Soviet sendiri) dan bahkan di dunia karena kwalitas dan juga besarnya Universitas itu. Kalau tidak salah ingatan saya, gedung tertingginya mencapai 43 tingkat. Wilayah Universitas  bersama isinya hampir menyerupai sebuah kota kecil di dalam kota dan semua yang biasa terdapat di dalam kota ada dalam wilayah Universitas Lomonosov termasuk toko-toko, supermarket dan pasar dll-nya. Setiap orang Rusia akan menyatakan bahwa menjadi mahasiswa dan diterima sebagai mahasiswa di Universitas Lomonosov adalah kebanggaan besar tapi juga luar biasa sukarnya untuk bisa diterima sebagai mahasiswa karena harus melalui penyaringan tangguk rapat diberbagai tingkat dengan ujian-ujian yang harus dilalui  dengan diahiri ujian masuk yang sangat ketat. Namun saya dan seorang teman yang sama Indonesia-nya, tidak perlu menempuh ujian masuk dan melalui penyaringan ketat karena kami mendapat surat rekomendasi dari Kementrian dari sebuah negara sosialis terbesar di dunia.Tapi dekanat dan rektor Universitas Lomonosov berpendapat lain. Setelah membaca surat dari Kementrian Pendidikan Tinggi Soviet itu mereka mengatakan bahwa dalam sejarah Universitas Lomonsov belum pernah ada satu calon mahasiswapun yang diterima tanpa ujian masuk dan semuanya pada umumnya, menurut kata mereka harus mengeluarkan "keringat darah"terlebih dahulu sebelum berkesempatan mengadu untung bisa lulus ujian masuk Universitas mereka. Mendengar jawaban mereka itu serentak kami berdua mengatakan bahwa kamipun bersedia menempuh ujian masuk seperti juga yang dilakukan oleh seluruh calon mahasiswa lainnya. Tapi mereka bilang hal itu tidak boleh mereka izinkan karena surat dari Kementrian adalah perintah dan mereka harus menjalankan perintah itu tanpa sarat. Singkat kata kami diterima tanpa boleh menempuh ujian masuk. Tapi tidak berhenti sampai di situ. Proses penerimaan kami harus melalui berbagai emosi yang tidak enak sebagai dua mahasiswa Post Graduate (orang Rusia menyebutnya mahasiswa aspirant) yang diterima secara terpaksa karena perintah dari atasan mereka. Sikap selanjutnya dari mereka adalah bahwa kami tidak diberi hak menerima sebuah kamar untuk satu orang  sebagai jatah setiap mahasiswa Post Graduate yang tanpa kami pernah dengar alasannya mengapa perbedaan itu diberlakukan terhadap kami (mungkin sebagai jawaban atas keistimewaan yang diberikan oleh Kementrian Pendidikan tinggi kepada kami berdua), tapi hal itu tidak kami persoalkan karena kami masih bisa tinggal di asrama mahasiswa kami yang lama yang satu kamar didiami oleh empat hingga lima mahasiswa). Juga uang saku yang kami terima tetap uang saku sebagai mahasiswa lama yaitu 90 rubel satu bulan sedangkan mahasiswa Post Graduate Universitas Lomonosov menerima 150 rubel satu bulan. Itupun tidak kami persoalkan. Tapi suara-suara yang tidak puas terhadap diterimanya kami di Universitas Lomonosov itu tidak hanya terbatas dari pihak Rusia di Lomonosov, tapi juga di kalangan intern mahasiswa Melayu yang memang sangat rentan dengan rasa iri dengki. Satu kenyataan memang kami diistimewakan tanpa keinginan kami sendiri dan kami tidak pernah menyatakan bahwa kami ingin meneruskan pelajaran apalagi untuk memasuki Universitas Lomonosov dan hanya menjalankan tugas yang diberikan atasan. Tapi itu untuk saya sudah cukup untuk alasan berpisah dengan situasi yang tidak mungkin diselesaikan dengan perdebatan atau saling diam dan saya cepat mengundurkan diri dan enam bulan kemudian saya berangkat  menuju Hanoi-Vietnam setelah saya berkenalan dengan mahasiswa-mahasiswa Vietnam yang belajar di Lomonosov (di Universiatas Lomonosov, para mahasiswa asing pada umumnya berasal dari negara-negara kapitalis Barat maupun sebagian kecil, juga dari negeri-negeri sosialis). Universitas megah dan bergengsi itu saya tinggalkan secara sukarela meskipun  dengan emosi sentimentil yang cukup menyengat (merasa direndahkan karena dianggap mahasiswa karbitan) .Saya kemudian diterima di Universitas negara Hanoi dan mempelajari bahasa Vietnam selama tiga tahun di sana sejak tahun 1970 dan baru pada tahun 1978 barulah menempuh dan mempertahankan disertasi saya. Semua prosedur dan ketentuan-ketentuan Universitas saya lakukan tanpa menerima keistimewaan apapun hingga saya merasa tidak punya hutang keistimewaan apapun. Hanya saja kehidupan kemahasiswaan saya jadi berlangsung selama 15 tahun jika dihitung sejak di Indonesia dulu dengan hasil menjadi manusia buangan seumur hidup. Tapi kehidupan kemahasiswaan saya yang singkat selama di Universitas Lomonosov masih tetap meninggalkan kesan terutama pergaulan saya dengan beberapa mahasiswa Vietnam yang diantaranya ada yang pernah mengatakan pada saya: "Belajarlah di Vietnam, kami sedang perang, di sana hanya ada dua macam ujian: lulus berarti bebas, tidak lulus berarti mati". Setelah saya belajar di Vietnam saya tidak tahu apakah saya lulus atau tidak jika menurut teman Vietnam saya yang  se universitas dulu itu. Tapi yang terang saya masih hidup hingga detik ini dan memang bebas dari kejaran suharto dan tidak pernah nginap di Pulau Buru maupun di Cipinang atau Nusa Kambangan. Selebihnya ujian-ujian hidup masih antri di depan mata meskipun sudah tanpa surat bebas ujian dari Kementrian Pendidikan Tinggi Uni Soviet.

ASAHAN.
Hoofddorp, 15 Mei 2011
0
 
Memoar
                                                 MOSKOW dan BAHASA RUSIA
Moskow yang saya kenal adalah Moskow pada permulaan tahun enampuluhan, tepatnya sejak 1961 ketika saya datang ke sana sebagai mahasiswa  yang belajar di fakultas sastra jurusan bahasa Rusia.Tapi untuk saya khususnya, Moskow adalah kota turis mahasiswa dan bukan sebagai yang seharusnya sebagai kota Mahasiswa karena selama di sana saya lebih banyak mengitari kota Moskow daripada duduk di bangku kuliah mendengarkan kuliah-kuliah yang diberikan para dosen dan professor. Tapi Moskow adalah juga kota besar bertaraf Internasional di mana kecintaan saya terhadap sastra atau dalam bahasa yang lebih sederhana perkenalan saya dengan dunia sastra menjadi terpaku dan melekat untuk selama-lamanya pada diri saya. Di Moskow saya mengenal lebih lanjut sastrawan-sastrawan dunia bangsa Rusia seperti Tolstoi, Anton Chekhov, Maxim Gorky, Turgenev, Pusykin, Lermontov, Mayakovsky dan masih banyak lain lainnya yang sama besarnya.
Tapi proses pengenalan saya dengan para sastrawa Rusia dan sastra Rusia adalah juga sebuah proses penderitaan dan kenikmatan serta kebahagiaan. Penderitaan adalah karena harus mempelajari bahasa Rusia yang termasuk tersukar di dunia untuk  dipelajari bahkan oleh orang Rusia sendiri. Tapi kenikmatan dan kebahagiaan itu datang ketika telah bisa membaca karya-karya sasta Rusia dalam bahasa aslinya. Untuk sebagian mahasiswa asing yang mempelajari bahasa Rusia, proses itu adalah  proses air mata dan keputus asaan. Betapa sukarnya bahsa Rusia itu hanya bisa dibayangkan kalau mempelajarinya sendiri. Tentu harus dikecualikan bagi orang-orang yang mempunyai bakat bahasa yang luar biasa.Dengan bakat bahasa yang biasa-biasa saja harus mengeluarkan banyak keringat dan aktivitas bahasa yang tinggi. Bahasa Rusia adalah sekaligus bahasa Intelektuil, bahasa rakyat, bahasa pak Tani dan buruh pabrik dan yang terpenting adalah bahasa sastra yang paling lengkap, paling kaya meskipun yang juga paling sukar dikuasai. Membaca karya karya Chekhov dengan gaya dan tema sederhana yang dalam terjemahan dalam bahasa sendiri sudah memberikan kenikmatan dan kepuasa sastra, tapi bila membaca dalam bahasa aslinya, kenikmatan dan kepuasan itu akan bertambah lebih banyak lagi dan pula Chekov tidak membatasi diri dengan tema-tema sederhana tapi menarik, dia juga banyak menulis novel-novel besar dengan tema-tema yang lebih rumit. Dalam karyanya "CORNEI MONAH" atau : "BIARAWAN HITAM" Chekhov mendapat pujian dari Tolstoi dengan kata-kata "Ah, betapa indahnya!" yang padahal sebelumnya Tolstoi sangat mencela karya-karya Chekhov sebagai sastrawan yang katanya tidak bernilai dan tidak bermoral. Dan bila ingin menikmati keindahan bahasa Rusia, bacalah karya-karya Lermontov dan bila  penggemar akrobat bahasa dan kalimat yang panjang-panjang bacalah Tolstoi. Apa yang tidak bisa dibikin dengan bahasa Rusia. Para sastrawan mereka telah membuktikannya. Meskipun bahasa Rusia saya sekarang sudah semakin aus dan menciut serta berbunyi menohok telinga seperti pintu yang tak banyak digunakan, tapi saya tida menyesal pernah mempelajari bahasa Rusia, bahkan hingga menjadi miskin dan terbuang seumur hidup karena pernah memilih klas yang dikalahkan dan tidak mau bangun kembali. Bahasa Rusia adalah harta saya yang semakin tidak berguna yang juga sejalan dengan kehancuran Sosialisme di Sovyet Uni masa lalu. Sekali  lagi saya tidak menyesal meskipun pernah memiliki modal yang tidak pernah berkembang yang ahirnya bangkrut dan cuma berharga sebagai kenang-kenangaan di masa lalu. Yang saya sesalkan adalah karena saya tidak punya perhatian yang cukup mempelajari bahasa Inggris dengan sungguh-sungguh dan telaten hingga bahasa itu sangat kurang saya kuasai tapi juga tidak membuat saya rendah diri karena kekurangan  itu, saya masih mendapatkan bahasa asing lainnya yang meskipun lebih kurang populer dari bahasa Inggris tapi saya dapatkan dari minat dan usaha saya sendiri.
Salah seorang dosen yang memberi pelajaran sejarah sastra dunia, dalam ujian yang saya harus tempuh dengan hasil mendapat angka yang tidak buruk tapi juga tidak pernah menghadiri kuliah-kuliahnya, dosen itu menuliskan angka empat (sama dengan angka delapan di sekolah-sekolah Indonesia)  sambil mengatakan: "Ini sebetulnya angka bahasa Rusia-mu karena kamu bisa mengatakan dengan benar tentang apa yang kurang kamu ketahui yang itupun menurut kesan saya cumalah pengetahuan dari pasar yang kamu peroleh".Kalimat panjang yang kurang enak itu harus saya telan karena mengandung kebenaran tapi juga saya masih mau mebantahnya: "asalkan ilmu, tidaklah penting dari mana dia didapatkan, di  pasarpun tetap berharga". Tapi dosen itu bilang: "tapi kan kamu datang ke Moskow untuk belajar di Universitas dan bukan belajar di pasar". Mendengar jawabannya itu kesombongan saya jadi kumat dan kembali menjawab: "Salah satu pasar saya adalah juga bibliotik Lenin yang saya kunjungi lebih banyak dari ruangan kuliah". Tentu dalam jawaban saya itu mengandung banyak hyperbola. Yang benar adalah gedung-gedung konsert dan opera serta kelayaban di kota Moskow. Ke bibliotik Lenin itu hanya kadang-kadang saja menjelang datangnya ujian-ujian.
Kembali ke Moskow. Sejak Moskow saya tinggalkan di tahun 1966, hingga sekarang saya tidak pernah mengunjunginya. Tapi saya yakin Moskow jaman saya itu sama saja dengan kota Tanjung Pandan tempat kelahiran saya yang telah hilang dimakan modernisasi dan dunia yang berubah ketika saya kunjungi di tahun 2000. Namanya masih ada, jasadnya suduh berubah sama sekali. Yang saya dengar dan ketahui dari media seperti TV dll-nya Moskow sekarang sudah bukan lagi milik rakyat Sovyet tapi sudah milik borjuis kapitalis, sudah menjadi kota para Milyarder di mana semua barang-barang mewah dan termahal di dunia diperjual belikan, telah menjadi kota kriminal Internasional, kota para mafia dan kota sasaran teroris. Sedangkan Moskow di jaman sosialisme, setiap orang asing bisa mengaku Moskow seperti ibu kotanya sendiri, sebagai ibu kota ke dua, sebagai kota Metropoklitan yang paling murah untuk dikunjungi dan dinikmati, sebagai kota budaya dunia yang tercapai untuk sebagian terbesar rakyat di negerinya. Bahasa Rusia yang termasuk lima bahasa dunia, ternyata hingga kini tidak lebih berkembang meskipun di PBB masih resmi tetap termasuk bahasa dunia. Minat Internasional terhadap bahasa Rusia tidak tampak menonjol, bahasa Inggris tetap saja bahasa dunia yang paling populer, paling banyak digunakan dan semakin banyak digunakan dan juga sebagai lambang kemenangan kapitalisme atas Sosialisme meskipun dunia kapitalis sekarang ini dalam keruntuhan dan kemerosotan terutama di bidang ekonomi. Moskow di jaman saya sudah masuk musium sejarah sedangkan Moskow moderen yang sekarang masuk kedalam pangkuan haribaan borjuis Internasional dan Kapitalis Neoliberal. Lagu "PINGGIRAN MOSKOW DI KALA SENJA" yang pernah populer  ke sluruh dunia, kini telah pudar dan dilupakan orang sejalan dengan matinya Sosialisme di Sovyet Uni di siang hari. MATI BUNUH DIRI yang diprakarsai oleh seorang penerima hadiah Nobel bernama Gorbachov. Sunghuh pantas hadiah itu dia terima berkat jasa-jasanya
Hoofddorp, 14 Mei 2011.
ASAHAN.
0
 
Desentralisasi Perayaan Buku
Ditulis oleh: Agus Irkham

Salah satu ukuran keberhasilan gerakan membaca adalah jika kegiatan literasi (membaca dan menulis) tidak hanya terpusat di ibukota. Tapi di daerah. Mulai dari provinsi hingga kabupaten. Bahkan kecamatan dan desa/kelurahan.

Apa pasal bisa dijadikan ukuran keberhasilan?

Karena letak persoalan literasi di Indonesia bukan pada rendah tingginya, tapi pada pemerataannya. Di satu tempat, ada begitu banyak orang yang sudah sadar dan tergerak untuk membaca buku. Tapi di lain tempat, gairah orang untuk beraktivitas menulis dan membaca (buku) masih rendah. Tak jarang justru dianggap tidak penting dan hanya buang waktu saja.

Forum Indonesia Membaca, sejak mula digagas memang bertujuan memperbanyak akses informasi, memfasilitasi dan membuka ruang partisipasi seluas-luasnya kepada masyarakat dalam penguatan budaya baca. Keseluruhan ikhtiar ditujukan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dengan menguak kecintaan akan ilmu pengetahuan, seni dan nilai-nilai kemanusiaan. FIM mensosialisasikan aktivitas membaca dan menulis di tingkat lokal (local literacy). Serta mendukung tumbuhnya perpustakaan-perpustakaan komunitas (community libraries) di Indonesia.

Salah satu kegiatan besar yang rutin digelar FIM di tiap tahunnya adalah perayaan Hari Buku Sedunia (World Book Day). Sejak tahun 2006 hingga 2011 ini sudah 6 (enam) kali FIM menghelat acara tersebut. WBD Indonesia menjadi wadah perayaan antara beragam pihak yang terlibat dan berkepentingan (stakeholders) terhadap gerakan membaca di Indonesia. Mulai dari penerbit, penulis, pembaca, hingga komunitas buku (literasi).

Ada banyak kisah sukses dalam lima kali (tahun 2006 s.d. 2010) penyelenggarakan tersebut. Secara kasat mata, ukuran berhasilan itu bisa dilihat dari animo dan antusiasme masyarakat untuk mendatangi tempat perayaan WBD berlangsung. Termasuk liputan media, dan partisipasi komunitas literasi.

Sejak awal, kami sadar bahwa WBD Indonesia bukan milik FIM. Ia menjadi milik siapa saja, yang merasa mencintai buku. FIM hanya mencoba memberikan inspirasi, model atau pola perayaan. Harapan kami, inspirasi, model, dan pola perayaan tersebut di masa-masa berikutnya bisa menjadi rujukan banyak komunitas, terutama di daerah untuk menggelar WBD. Jadi WBD kami tempatkan sebagai strategi untuk mendesentralisasikan perayaan kampanye literasi.

Meskipun, belum bisa dikatakan sebagai sukses besar, wujud desentralisasi perayaan literasi itu sudah nampak. Misalnya. yang paling dekat di tahun 2010. WBD Indonesia sudah dirayakan di beberapa daerah. Yaitu di Bandung, Surabaya, dan Bojonegoro. Di Pekalongan, meskipun tidak menggunakan label perayaan WBD, Rumah Baca Jalapustaka memprakarsai kegiatan literasi berupa diskusi, bedah buku, pelatihan menulis, serta sepeda pustaka. Semua kegiatan dilakukan selama tiga hari. Dimulai persis pada tanggal dan bulan Hari Buku Sedunia (23 April). Selain itu program WBD Goes to School yang digulirkan sejak tahun 2009 telah mendapat renspon positif dari banyak sekolah yang tahun ini mulai menggelar WBD di sekolah masing-masing.

Perkembangan dunia literasi pada lima tahun terakhir ini cukup menggembirakan. Banyak komunitas buku lahir. Dengan berbagai macam nama yang menunjukkan identitas kelokalannya. Dunia penerbitan juga tidak mau ketinggalan. Dalam satu tahun menyelenggarakan pameran buku lebih dari dua kali. Dan yang patut dicatat pula, kini Taman Bacaan Masyarakat (TBM) tumbuh di mana-mana. TBM hadir untuk mengatasi satu sebab kenapa minat baca masyarakat rendah, yaitu soal sulitnya mengakses buku.

Perkembangan dunia literasi juga mencakup kian beragamnya program kegiatan yang diadakan komunitas literasi. Keragaman itu bertemu pada satu titik: mengentalkan identitas kelokalan guna mengukuhkan ke-Indonesia-an. Pada titik ini, desentralisasi kampanye membaca tidak hanya terbatas pada bentuk dan kemasan (context) acara. Tapi juga pada isi (contents) acara.

Dalam bingkai keragaman itulah, maka mempertahankan WBD Indonesia yang harus dirayakan di ibu kota negara dengan mengangkat isu-isu yang bersifat terlalu umum menjadi kurang relevan. Dan rasa-rasanya agak sulit diwujudkan jika harus menampung semua komunitas literasi di Indonesia—mengingat jumlahnya yang kian waktu kian banyak.

WBD perpisahan
Atas dasar konstruksi berfikir di muka, maka FIM memutuskan diri: WBD Indonesia 2011 menjadi WBD terakhir yang kami gelar. Harapannya, mulai tahun 2012, WBD Indonesia tidak lagi diselenggarakan di Jakarta (sentralisasi), tapi menyebar ke pelosok nusantara (desentralisasi). Dan yang tampil sebagai inisiator dan pegiat utama bukan lagi FIM, tapi komunitas literasi khususnya, serta stakeholder dan shareholder literasi di tiap-tiap daerah pada umumnya.

Kami kira penyelenggaraan WBD di daerah akan jauh lebih efektif dan efisien. Karena langsung berdekatan dengan kelompok sasaran gerakan literasi. Dan dari perayaan ini pula, peta sebaran gerakan literasi di Indonesia akan semakin nampak. Penampakan peta sebaran ini penting. Karena bisa menjadi dasar bagi para stakeholder budaya baca di masing-masing daerah untuk merumuskan konsepsi dan program aksi literasi berikutnya. Dengan begitu gerakan literasi di Indonesia akan kian tumbuh dan mekar.

Sponsored by