Sekitar Ko Dan Penjelasan Untuk Aulia Indriaty (III) Oleh : A.Kohar Ibrahim „DI TAHUN 1965, Ko dipilih secara resmi untuk menjadi duta kebudayaan ke Cina, rencananya hanya seminggu dua disana, tapi takdir berkata lain, karena berpuluh tahun akhirnya Ko tak bisa pulang ke Indonesia. Ko dilepas kepergiannya di Bandara Soekarno Hatta dengan upacara kenegaraan resmi oleh pemerintah yang resmi pula. Batas waktu seminggu di Cina telah dipenuhi Ko, satu hal yang pasti, kerinduan Ko pada tanah air tentu sudah membuncah. Maklum, tanah Cina bukan tempat dimana Ko berasal. Tiba di keimigrasian Cina untuk mengurus kepulangan, Ko dikejutkan dengan sebuah hal yang tak pernah disangkanya. Identitas Ko sebagai warga negara Memang benar, bahwa pada tahun 1965, selain sebagai penulis-jurnalis juga anggota dewan redaksi majalah sastra dan seni Zaman Baru pimpinan Rivai Apin, saya terpilih menjadi anggota Delegasi Pengarang Indonesia untuk menghadiri Perayaan Berdirinya RRT 1 Oktober (1949-1965). Keberangkatan kami itu adalah atas undangan resmi dari Himpunan Pengarang Tiongkok. . Delegasi yang terdiri dari 5 anggota Sidang Pleno Lembaga Sastra Sebuah Delegasi yang berupa rombongan kecil saja memang, kebanding Delegasi-delegasi lainnya, seperti Delegasi Wartawan Betapapun, rombongan kami merupakan bagian dari rombongan besar dari "Tiongkok telah berubah Siapa mampu membantah? Pawai megah meriah Langkah berderap tegap Peserta maupun pengunjung bangga Juga Ketua Mao Zedong di panggung agung Para utusan massa, partai dan negara berdampingan Mengemban persahabatan dan setiakawan Tiongkok telah berubah Menjadi teguh, tambah megah dan gagah" Demikian larik kata kata sebagai percikan kesan kesaksikan dari berdiri di Tribun Tamu Kehormatan Tienanmen pada 1 Oktober 1965. Yang kemudian tercantum dalam buku „Berkas Berkas Sajak Bebas" (Kreasi N° 37). Iya, suatu kesan kesaksian sarat turut merasa bangga dan gembira di tengah-tengah pesta rakyat Tiongkok merayakan hari nasionalnya. Kegembiraan mana seketika kemudian berubah menjadi rasa waswas dan penasaran, setelah terbetik berita telah terjadi perubahan situasi di Jakarta. Rasa waswas dan penasaran itu pun bukan saja mengganggu suasana kami pada pesta rakyat di lapangan raya Tienanmen, melainkan juga ketika berada di ruang resepsi pada malam harinya. Di dalam Gedung Rakyat, tempat resepsi sekaligus jamuan para tamu Negara yang jumlahnya ribuan orang. Perasaan gundah itu terutama sekali disebabkan langkanya berita yang berkenaan dengan terjadinya perubahan situasi di Indonesia. Sebab utamanya, karena seiring terjadinya kudeta militer, maka pemberangusan pers pun diberlakukan. Kecuali koran-koran yang dikendalikan oleh kaum militeris yang menggenggam kekuasaan yang baru, seperti harian „Berita Yudha" dan „Angkatan Bersenjata", semua pers yang mendukung Presiden Sukarno diberangus. Baru di kemudian hari, beberapa koran bisa diterbitkan kembali, namun dalam hegemoni politik Orde Baru. "Semua hal yang diangap berkaitan dengan paham komunisme, "dibumi hanguskan" tanpa pandang bulu. Pun dengan orang per orang personal, termasuk juga Ko sebabnya hanya satu, keikutsertaannya dalam Lekra." Demikian tertera pada paragraf ketiga tulisan Aulia Indriaty itu. Hakikatnya memang benar begitu adanya. Kemudian kami, dan juga publik yang lebih luas, kian mengtahui apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia, khususnya di Ibukota Jakarta. Bahwa terjadinya perubahan situasi adalah setelah terjadi Peristiwa 30 September yang didalangi oleh Gerakan 30 September 1965 yang dikepalai oleh Letkol Untung dari Pasukan Pengawal Istana Cakrabirawa. Gerakan yang hanya berusia beberapa jam saja itu segera ditumpas pada tanggal 1 Oktober 1965 oleh pasukan militer pimpinan Letjen Suharto. Gerakan militer 1 Oktober inilah yang jadi pemenang dan penggenggam kekuasaan Negara secara defakto. Sementara Bung Karno, sekalipun masih secara resmi untuk sementara disebut sebagai Presiden, namun sudah tidak bisa lagi melakukan tugas kepresidenannya alias sudah dilumpuhkan. Dilumpuhkan karena kekuasaan negara sudah tidak lagi dalam genggamannya, melainkan sudah dirampas oleh Jenderal Suharto. Terbukti, Presiden Sukarno yang adalah djuga sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia, tidak bisa berbuat apa-apa atas kejadian lanjutan dari Peristiwa 30 September dan Kudeta 1 Oktober yang dilancarkan kaum militeris Indonesia itu. Tidak bisa berbuat apa-apa, atas segala kelancar-gencaran siaran Propaganda Hitam yang dilakukan pers Indonesia yang telah terhegemoni oleh penguasa militer. Yakni berupa dusta dan fitnah serta cap ke alamat Bung Karno dan kaum pendukungnya – parpol maupun ragam macam orsospol dan budaya seperti Lekra. Dengan cap yang mematikan baik secara politis maupun secara fisik, yakni cap terlibat „G30SPKI". Cap sewenang-wenang atas dasar dusta dan fitnah inipun tertuju dan berlaku bukan hanya untuk dalam negeri, melainkan juga terhadap mereka yang sedang berada di luar negeri -- karena berbagai alasan. Alasan, entah sebagai utusan atau delegasi dari Indonesia, melakukan dinas atau tugas maupun sebagai mahasiswa. Istimewa sekali terhadap orang-orang semacam kami, yang berada di negara-negara seperti RRT dan yang dikategorikan sebagai „Blok Sosialis" yang dikepalai URSS. Blok dunia yang jadi lawan „Blok Kapitalis" alias „Blok Barat" yang dikepalai USA dalam kemelut Perang Dingin yang panas. Sungguh! Cap dan tuduhan yang sewenang-wenang itu berdasarkan dusta dan fitnah belaka, tanpa ada pembuktian di Pengadilan, baik oleh Orde Baru pimpinan Jenderal Suharto maupun Orde yang Baru Baru kemudian hingga detik ini! *** Catatan: Serial naskah "Sekitar Ko" dari I sampai VI ini pernah disiar berbagai media cetak & online. Bisa dilacak antara lain di ABE-Kreasi Multiply Site bulan September-Oktober 2007. Siar ulang naskah (III) - Facebook 3 Juni 2011. |
-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.