Advertise Box

[ac-i] Klub Istri Taat Suami: Rancu dan Melemahkan Perempuan

 

Di Vietnam ada sebuah anekdot yang cukup populer di kalangan rakyat. Beginilah cerita anekdot itu: 
 
Sebuah perkumpulan para suami yang takut istri selalu mengadakan rapat  periodik untuk membicarakan  pengalaman mereka masing-masing bagaimana menaklukkan istri-istri mereka yang garang atau dominan dalam keluarga mereka. Sehabis setiap suami mengahiri ceritanya yang berapi-api  seperti seorang pahlawan  yang baru kembali dari medan perang, maka semua yang hadir bertepuk tangan karena merasa disemangati dan diberanikan oleh pengalaman - pegalaman heroik dari setiap anggota mereka. Dan setelah berpidato biasanya lalu disalami oleh para suami lainnya dengan ucapan: TETAP SEMANGAT!
Suatu hari seorang suami yang takut istri tampil ke podium dengan cerita heroiknya dalam menjinakkan istrinya  yang terkenal di seluruh kampung sebagai istri galak yang mendapat julukan: "Se Te Hadong" ( Harimau desa Hadong). Berkali kali suami yang bernama Hung itu mendapat tepuk tangan gemuruh karena keberaniannya sebagai seorang suami yang punya istri galak. Tapi menjelang  di ahir ceritanya, tiba-tiba pintu rumah pertemuan  mereka didobrak keras oleh seorang perempuan yang ternyata istri Hung yang mencari suaminya. Begitu istri Hung masuk ke ruangan rapat rahasia para suami takut istri itu, semua peserta rapat cepat lari tunggang langgang terbirit-birit menuju jendela melarikan diri tak tentu arah karena ketakutan setengah mati. Hanya seorang saja yang masih berdiri di podium tanpa bergerak yaitu Hung sendiri. Ketika istrinya menghampirinya, ternyata Hung telah kejang menjadi patung karena ketakutan melihat kedatangan istrinya.
 
Dalam kenyataan, di Vietnam, perempuan adalah yang paling berkuasa meskipun tanpa teori feminis-feminisan. Propaganda emansipasi wanita tidak populer atau hampir tidak dikenal di Vietnam. Tapi para perempuan dengan sendirinya telah memegang peranan dominan dalam banyak bidang. Dalam masa perang melawan agresi Amerika Serikat, panglima tertinggi angkatan bersenjata Di Vietnam Selatan adalah seorang perempuan yang bernana Nguyen thi Dinh dalam Pemerintahan Sementara Rakyat Vietrnam Selataan yang melancarkan perang gerilya besar melawan tentara Amerika Serikat beserta tentara bonekanya dan...MENANG!
 
Dalam kehidupan sehari-hari di Vietnam, dia jalan-jalan, kita akan sangat biasa melihat perempuan yang bersepeda sambil memboncengkan laki-laki di belakangnya dan jarang sekali lelaki yang memboncengkan perempuan. Perempuan merasa malu bila membonceng di belakang sepeda oleh laki-laki karena mereka akan dianggaap kaum lemah. Begitulah psikologi kaum perempau di Vietnam. Dalam Pemerintahan Sementara Rakyat Vietnaam Selatan, mentri luar negeri mereka adalah seorang perempuan yang bernama Nguyen thi Binh yang biasa berunding di PBB dan masih bannyak tokoh-tokoh    organisasi-organisasi massa lainnya yang diketuai perempauan hingga sekarang ini.
 
Ketika  saya mulai hidup di Eropah, saya begitru banyak mendengar istilah "feminis", "emansipasi"  di Belanda terutamanya, setiap penggantian kabinet, jatah perempuan sebagai mentri seolah dijadikan barometer pertama apakah para perempuan sudah cukup diwakili dalam kekuasaan. Seolah kewajiban yang membabi buta untuk memasang perempuan dalam kabinet yang sering-sering cuma tanda kemunafikan laki-laki dan bukan menurut kebutuhan yang sesungguhnya. Kabinet yang sekarang yang diperdana mentri-i Max Rutte, jatah perempauan dalam kabinet telah sangat berkurang dari kabinbet-kabinet sebelumnya dan tentu saja hal itu mengundang kritik terhadapnya. Tapi Rutte menjawab: "Kami memilih kemampuan dan bukan gender". Tentu saja Rutte termasuk yang munafik dalam soal menempatkan perempuan dalam kabinetnya. Tapi satu hal. Belanda sebagai juga bangsa yang termasuk golongan munafik atau hypocrit memang keranjingan pura-pura meninggikan derajat perempuan dan merasa dirinya kampiun emansipasi perempuan. Tapi para perempuan yang sedar akan sifat hypocricy bangsanya sendiri itu, di antaranya ada yang menentang dan menulis buku dengan judul: "Pilih bahagia atau pilih hak sama?". Gerakan Feminis di Belanda memang cukup agressif dengan motto mereka "perangi laki-laki".
Saya sendiripun anggota organisasi "Para Suami Takut Istri" (Parasut-RI) cabang Belanda. Setiap rapat harus ngungsi ke luar negeri yang juga kadang-kadang ke Indonesia atau ke Vietnam yang bila perlu bisa cepat minta asiel.
ASAHAN.
 
 
----- Original Message -----
From: sunny
Sent: Saturday, June 11, 2011 9:40 AM
Subject: [inti-net] Klub Istri Taat Suami: Rancu dan Melemahkan Perempuan

 

Refl: Apakah ada klub suami taat istri? Kalau belum ada apakah perlu dibentuk?

http://female.kompas.com/read/2011/06/08/08590125/Klub.Istri.Taat.Suami.Rancu.dan.Melemahkan.Perempuan

Klub Istri Taat Suami: Rancu dan Melemahkan Perempuan
Wardah Fazriyati | wawa | Rabu, 8 Juni 2011 | 08:59 WIB

KOMPAS.com - Gagasan pendirian Ikatan Istri Taat Suami (IITS) di Indonesia digulirkan Dr Gina Puspita, PhD. Seperti apa gagasan Dr Gina mengenai IITS? (Baca: Menyusul, Ikatan Istri Taat Suami Indonesia). Kepada Kompas Female, sejumlah pakar dan pengamat isu perempuan merespons inisiatif ini.

Husein Muhammad, Komisioner Komnas Perempuan 2007-2010 dan 2010-2014 yang juga penulis buku Islam Agama Ramah Perempuan mengatakan, gagasan Dr Gina semakin mengokohkan stereotip perempuan sebagai "pelayan". Perempuan difungsikan sebagai mahluk domestik. Gagasan tersebut meneguhkan kembali konsep domestikasi perempuan. Konsep ini berakar pada anggapan bahwa perempuan adalah mahluk Tuhan yang lemah dan rendah secara intelektual. Sementara laki-laki diposisikan sebagai mahluk publik, karena anggapan akal mereka lebih unggul.

"Dari namanya saja orang sudah dapat dan mudah merefleksikan bahwa perempuan merupakan entitas subordinat, mahluk kelas dua. Menurut saya gagasan Dr Gina bukan merupakan jalan yang baik, dan proses ke arah pemiskinan dan pelemahan perempuan. Ini pada gilirannya akan sangat berpotensi membuat kehidupan keluarga semakin terpuruk. Tujuan yang baik tidak serta-merta menghasilkan kebaikan, jika jalan yang dilaluinya keliru, salah dan menderitakan orang," jelas Husein, yang menjabat sebagai Ketua Dewan Kebijakan LSM Fahmina di Cirebon.

Husein yang juga pendiri perguruan tinggi Institute Studi Islam Fahmina menambahkan, pendirian IITS di Indonesia akan mengalami kegagalan yang sama dengan kasus Poligami Award. Ia hanya akan menarik bagi segelintir orang yang telah kehilangan cara mengatasi problem dirinya sendiri dan keluarga atau rumahtangganya.

"Indonesia telah memiliki Konstitusi 1945 yang memandatkan penghapusan segala bentuk diskriminasi, tak terkecuali diskriminasi berbasis gender. Negara ini juga sudah meratifikasi konvensi CEDAW yang mengamanatkan penghapusan berbagai diskriminasi terhadap perempuan," tegas Husein.

Rancu
Ir Dra Giwo Rubianto, MPd, pengamat dan pemerhati perempuan dan anak, mengatakan kehadiran IITS tidak diperlukan karena tidak ada urgensinya. Giwo menjelaskan, dari aspek nomenklatur saja tidak tepat. Kata "taat" memiliki "konteks" dan "makna" yang luas, dan tidak bisa dipersepsikan secara dangkal.

"Taat yang bagaimana? Tentu taat dalam koridor tepat. Karena tentu tidak mungkin seorang istri taat, terhadap semua perintah suami tanpa melihat apakah perintahnya itu positif atau negatif. Suami juga manusia, sehingga kehadiran istri adalah menjadi mitra yang saling melengkapi, saling memberi kontribusi dan menjadi teman sharing dalam keluarga," jelas Giwo, pendiri Gerakan Wanita Sejahtera.

Dr Gina menyebutkan, bahwa tujuan didirikannya IITS adalah juga sebagai lembaga konsultasi pernikahan. Niat baik ini patut diapresiasi. Karena di balik niatan Gina tersirat misi bahwa perempuan juga perlu dibekali edukasi seks agar rumah tangganya semakin harmonis. Namun, menurut Giwo, niat baik ini menjadi rancu dengan didirikannya IITS.

"Jika semangatnya untuk konseling, terutama terkait pencegahan kekerasan dalam rumah tangga, semangatnya layak diapresiasi. Namun jangan dirancukan dengan niat seolah-olah banyaknya perempuan bekerja di luar rumah sebagai bentuk ketidaktaatan terhadap suami. Ini salah besar. Namun jika ingin mencegah kekerasan patut diapresiasi, karena saat ini masih banyak kasus KDRT karena relasi yang timpang, terutama perempuan sering menjadi korban akibat bias gender yang melembaga di masyarakat," jelas Giwo.

Kehadiran IITS, lanjutnya, kontraproduktif dengan fakta yang ada. Bahwa secara umum, banyak kasus kekerasan dengan perempuan sebagai korban. Padahal jika melihat Pasal 31, UU Perkawinan "Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat," tandas Giwo.

Hingga berita ini diturunkan, Dr Gina Puspita belum membalas pesan dari Kompas Female.

[Non-text portions of this message have been removed]

__._,_.___
Recent Activity:
blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com

-----------------------
Art & Culture Indonesia (ACI) peduli pada pengembangan seni budaya Nusantara warisan nenek moyang kita. Warna-warni dan keragaman seni budaya Indonesia adalah anugerah terindah yang kita miliki. Upaya menyeragamkan dan memonopoli kiprah seni budaya Indonesia dalam satu pemahaman harus kita tentang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
.

__,_._,___

+ Add Your Comment

Sponsored by